Part 1

1.8K 87 1
                                    

"Astagfirullah!"

Fatah terlonjak kaget, saat melihat seorang gadis yang hanya mengenakan tangtop berjalan dari arah dapur.  Gadis itu bahkan dengan santainya mengangguk dan tersenyum seolah tengah memberi hormat.

Afnan yang duduk di sebelah Fatah pun sontak menunduk dalam sambil menggumam istigfar berkali-kali. Mereka berdua tak habis pikir bagaimana bisa di rumah seorang kiai besar ada seorang gadis kurang bahan pakaian seperti itu?

Tak lama, seorang santriwati yang menjadi Abdi Dalem kiai datang tergopoh-gopoh dari dalam.

"Ya Allah, Ning Ara. Njenengan ndak boleh ada di sini! Saya bisa dimarahin Bu Nyai ini."

Gadis lain dengan aurat tertutup sempurna itu mendorong gadis berpakaian seksi ke arah kamarnya. Dengan kebingungan Ara pasrah mengikutinya.

Clara Maurine, gadis berusia 17 tahun yang dipanggil Ara. Baru saja tiba di Indonesia setelah proses panjang dalam hidupnya mencari jati diri. Dia yang dulu hidup di negara bebas, keluarga bebas dan bergaul bebas, tiba-tiba harus mengubah kebiasaan hidupnya 180 derajat dalam sekejap. Bagaimana kisah Clara menghadapi banyak cibiran dan permusuhan orang sekitar yang tidak menerimanya hadir sebagai anak Kiai Asmun? Pemilik pesantren besar di tanah Jawa.

***

Pandangan Fatah menyapu isi ruangan berornamen Timur Tengah di ruang tamu milik Kiai Asmun -pemilik pesantren Darul Mustofa- di Magelang. Pria yang memakai bolang di kepala itu, harus memenuhi amanah abinya, bertemu Kiai Asmun merespon permintaan pimpinan pesantren tersebut untuk mengadakan Kompetisi persahabatan santri antar pesantren. Dengan begitu bisa menguatkan sila ukhuwah.

Namun, bukannya dapat sambutan hangat dari pemilik pesantren. Fatah yang juga merupakan anak kiai itu harus disuguhkan pemandangan yang merusak mata.

"Gus, sepertinya kita salah memilih waktu. Dengar-dengar anak kyai Asmun dari istrinya terdahulu baru ditemukan, dan dia .... astagfirullah." Afnan bahkan tak mampu melanjutkan pernyataannya.

"Apa kita pulang saja dulu, lapor sama abi, Kang?"

"Saya bingung ini." Afnan membuka kopyah, menggaruk kepala tak gatal. Pasalnya, ia sudah ditanya beberapa kali oleh abinya Fatah tentang pertemuan ini.

"Kang. Jangan diam aja. Amit-amit kalau sampai perjodohan antar anak kyai yang sering digembar-gemborkan terjadi dan aku harus bersanding dengan perempuan seperti itu!" Fatah mengelus dada.

"Jangan begitu, Gus. Kita kan tidak tau bagaimana akhir kehidupan seseorang. Barangkali dia lebih mulya dari pada kita."

Mata Fatah membeliak mendengar ucapan sepupunya. Ia tak sadar telah sombong dengan posisinya sekarang. Padahal bisa jadi, Allah mengangkat derajat gadis yang dipandangnya rendah itu, dan dengan mudah juga bisa menjatuhkan dirinya sebagai putra kiai -yang dihormati- menjadi pria rendah dan hina yang tak ada harganya.

'Astagfirullah.'

Next :

https://m.facebook.com/groups/805799276260950?view=permalink&id=1585231638317706

Nikah yuk, Gus!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang