Part 2

1K 77 1
                                    

#Marry_Me_Gus!
(1)

"Ih, apa sih, Mbak Nooor! Gak ada akhlak banget. Main dorong-dorong," dengus Ara pada abdi dalemnya begitu mereka telah masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Hampir saja air dalam gelas yang dibawanya tumpah.

Untungnya selama ini ia dekat dengan beberapa pelajar dari Indonesia jadi mudah berkomunikasi. Beberapa tahun setelah tahu bahwa keluarga aslinya orang dari negara berfolwer tersebut, dengan gigih Ara mempelajari kebudayaannya. Bukan cuma dari Internet dan berkunjung di waktu liburan tapi juga bergaul dengan pelajar-pelajar itu.

Lagian Ara berniat baik, ia hanya ingin menyapa dua lelaki tampan yang duduk di ruang tamu. Sayang aja kalau dianggurin. Pribadinya yang humble tidak terima itu.

"Subhanallah, Ning! Kan sudah dibilangin, kalo  njenengan mau ke luar kamar pakai gamis sama khimarnya," cecar Nur merasa dikhianati.

Baru saja dia pamit ke toilet sebentar karena kebelet, Ara nekad ke luar tanpa menutup aurat. Padahal bisa saja santri ikhwan masuk karena perlu sesuatu, belum lagi ada tamu penting begitu. Nur bisa kena tahdzir beneran. Jika saja sejak awal dia tahu Ara sebandel ini, gadis berdarah Jawa itu pasti memilih diam dan tidak sok-sok an menawarkan diri menjaga Ara.

Kali ini yang datang bukan tamu biasa, tetapi anak kiai yang mashur di kalangan pesantren. Gus Fatah. Lelaki yang menjadi buah bibir bukan hanya di antara para akhwat tapi juga sesepuh dan tokoh-tokoh di kalangan mereka.  Maka Nur harus menyiapkan diri mendapatkan konsekuensi atas kelalaiannya.

"Hih! Ogah! Aku kan dah bilang gak mau pake baju gobrah-gobroh gitu. Ck. Apa sih, namanya. Daster!  Yah, daster! Aku gak suka!" protes Ara, terang-terangan menolak.

Walau pun dia juga seorang muslimah, menurutnya aturan pakai kerudung itu tidak bisa dipaksakan. Apa salahnya tidak pakai kerudung selama dia tidak merugikan orang lain? Paksaan membuat Ara semakin frustrasi menghadapi lingkungan keluarga barunya di pesantren.

Nur menghela napas panjang. Sepertinya hanya Ning Alya yang bisa mengatasi kelakuan ndablek Ara. Bahkan Nyai pun sepertinya kualahan, hingga memerlukan orang lain yang sebaya dengan Ara untuk melakukan pendekatan emosionalnya.

"Ya sudah. Kalau emang ndak mau pakai daster gimana kalau kita pakai tunik saja dulu,  bawahannya masih bisa pakai levis yang biasa Ning pakai." Nur coba bernegosiasi, ia ingat pesan Alya.

Harus sabar menghadapi Ara. Segala sessuatu butuh proses. Mereka bahkan harus menghargai segala upaya Ara, yang sejak lama berusaha keras mencari keluarganya. Ia bahkan mati-matian mempelajari segala sesuatu yang berasal dari kampung halamannya Indonesia.

"Tunek?" Ara tampak berpikir. Seperti apa bentuk tunik yang Nur minta. Apa kah sama seperti dress yang selama ini dikenakannya, atau malah lebih kedodoran dibanding daster?

"Tu-u-nik?" Nur mengeja sambil mengangkat jemarinya. "Sebentar saya ambilkan." Gadis yang terlihat manis dengan pakaian syarinya itu berlari ke luar.

Ara menggedikkan bahu. Ia teguk minuman di tangannya untuk membasahi kerongkongan yang sedari tadi kering, ditambah mengomel pada Nur.

***

Fatah dan Afnan akhirnya memutuskan menunggu. Mereka kini lebih memilih banyak menunduk, takut kalau-kalau Ara atau yang sejenisnya muncul lagi. Fatah sendiri sadar, semua juga salahnya. Tidak seharusnya matanya jelalatan menayapu isi ruangan meski tuan rumahnya tidak sedang di hadapan. Karena itu adalah salah satu bentuk adab bertamu.

Tidak berselang lama, seorang santri ikhwan datang dari dalam.
"Assalamualaikum, Gus." Pria berusia dua puluhan tahun meraih tangan Fatah dan Afnan bergantin.

Nikah yuk, Gus!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang