Damn

1.3K 223 44
                                    

Tubuh Zea gemetar, matanya berkedut luar biasa. Ada yang mau meledak di hatinya.

Di sana, Dipa masih bergerilya dengan perempuan itu. Semakin panas membuat Zea semakin terbakar.

Dilihatnya sekitar, mencari apa yang bisa diraihnya. Sesuatu yang keras, sesuatu yang bisa digunakan untuk memukul kepala sampai pecah.

Sebuah batu ukuran sedang yang masih bisa digenggam dengan satu tangan, teronggok di ujung kaki. Merunduk, diraihnya batu dan mendekati pasangan yang berasyik-masyuk tanpa tahu tempat. Tangan Zea terangkat, sementara kakinya bergerak semakin cepat ketika Dipa tiba-tiba menoleh, dan mendorong pasangannya menjauh. Membuat batu itu berhenti di depan wajahnya, bersamaan dengan kilat kecewa di mata Zea.

Zea tidak akan pernah sanggup melukainya.

"Kamu ... menyelamatkannya?" Suara Zea bergetar. Tangan yang menggengam batu masih melayang di atas angin.

"Aku menyelamatkanmu, Zea." Mata Dipa membelalak, menatap ke arah Zea dan batu dalam genggaman gadis itu bergantian. "Kamu enggak boleh jadi pembunuh!"

Air mata luluh dari sudut mata Zea, dia nyaris lupa kalau dengan statusnya sebagai seorang detektif tidak memungkinkan untuk membuat kesalahan. Dilepasnya batu dari tangan, dibiarkan berdebum di ujung kaki. Tidak ada yang terluka, hanya hatinya.

Zea menoleh ke arah perempuan yang sedang mencoba untuk bangkit. Perempuan yang terjatuh saat Dipa mendorongnya tadi agar batu tidak menghantam kepala. Sekejap, mata Zea mengerjap tak percaya. Itu Aeera. Model sialan yang juga selingkuhan Kaisar.

"Argh! Berengsek!" Aeera mengumpat. Menepuk-nepuk kakinya, lalu mendongak dan bersirobok dengan Zea. "Kamu?" tanyanya tak percaya dengan siapa yang mengganggu kegiatannya dan Dipa tadi.

Rasanya ingin bicara kasar, menarik rambut Aeera dan melancarkan bogeman mentah di wajah perempuan itu. Rasanya, Zea hendak mengamuk, ingin memaki betapa murahannya perempuan itu.

"Kalian, saling kenal?" Aeera menyipitkan mata. Namun, sejurus kemudian matanya jatuh pada batu di ujung kaki Zea. Segera jantungnya berdegup. Apa detektif itu mencoba melukainya barusan?

Zea melangkah mendekati Aeera, membuat tubuh keduanya nyaris rapat. Si model terlihat jengah, kebingungan dan juga sedikit merasa takut. Masalahnya, Zea terlihat mengerikan saat ini dengan mata yang membelalak kemerahan dan berkaca-kaca.

"Kamu mau apa?" Aeera mencoba menatap Dipa yang hanya bergeming di tempatnya berdiri.

"Dipa-mu, dan Dipa-ku," Zea berkata dengan suara yang berat, "sama. Sialnya, sama!" Lalu, dia mundur beberapa langkah, membuang napas keras sebelum tertawa terbahak. "Sialan!"

❤❤❤

Yang ada di pikiran Zea saat ini adalah bagaimana memuntahkan marahnya. Jadi bukannya pulang, ia malah melangkahkan kaki ke arah taman kota, duduk di salah satu bangku taman dengan kaki yang bergerak-gerak dengan gemetar. Hatinya benar-benar sakit.

Dipa menawarkan diri untuk mengantarnya tadi, tapi dia menolak. Dia sedang membenci tiap jengkal tubuh dari lelaki yang dicintainya itu. Sedang merasa jijik dengan bibir yang mengecap bibir perempuan lain. Perempuan yang saat ini menjadi salah satu saksi dari kasus yang ditanganinya. 

Ponsel yang berdering membuat gerakan kakinya berhenti. Masih denga ngelisah diambilnya ponsel dari dalam saku, siapa tahu Dipa meneleponnya untuk meminta maaf. Rasa-ranya, dia masih bisa memaafkan jika Dipa bersungguh-sungguh, kemudian berjanji untuk meninggalkan model sialan itu selama-lamanya.

Namun, yang terpampang pada layar adalah nama Chen. Rasanya Zea mau menjerit, tapi urung. Demi profesionalisme, demi percepatan penutupan kasus yang memecahkan kepala.

KEEP SILENT (Completed) - TerbitWhere stories live. Discover now