Smoothie

1.2K 230 27
                                    

"Kamu baru saja mengakuinya ...." Zea menurunkan ransel dan mengambil sebuah borgol dari dalam sana. "Apa aku perlu memborgolmu? Atau dirimu dengan sukarela menyerahkan diri?"

Chen terlihat menganga, matanya menatap Zea dengan tidak percaya. Sesaat kemudian tawanya lepas tak tertahan. Rasanya adalah hal yang bodoh mempercayakan sebuah kasus pembunuhan besar kepada seseorang yang mahir memecahkan masalah pencurian. 

Perlahan Chen menghela napas demi menetralisir tawanya. Kemudian, dipandanganya Zea dengan tatapan mencela.

"Pengakuan? Aku tidak pernah mengakui apa pun. Lagi pula, kamu butuh dua buah bukti untuk bisa menarikku sebagai tersangka. Sampai saat ini, tidak ada satu pun bukti yang bisa kamu tunjukkan." Lagi, Chen bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan mendekati Zea. Lagi-lagi, detektif itu terdesak sampai ke dinding. "Bahkan aku justru menemukan fakta mengejutkan ...."

Chen tersenyum miring, memperhatikan Zea yang menatapnya dengan pandangan sok berani. Mata perempuan itu menantangnya. Namun, sayang ... deru napas yang telalu cepat membuat Chen yakin, kalau si detektif sedang menekan rasa was was.

"Aku tidak yakin, apakah kepolisian menerima seseorang dengan erotomania?" Ucapannya kali ini, dibisikkan tepat ke telinga Zea. Membuat gadis itu menegang, dengan kuduk yang meremang.

"Kamu mencintainya ...." Zea berucap setenang mungkin, membuat Chen segera menarik wajahnya lagi. Kembali menatap dia yang sepertinya sudah mampu mengendalikan diri. "Kamu cemburu, maka kamu membunuh Kaisar."

"Tidak ada bukti, bodoh!" Chen sungguh kesal. "Apa penjelasan tentang pakaian dalam merah? Susu stroberi, juga tubuh yang telanjang?"

"Tidak perlu ada penjelasan. Kamu hanya perlu menyebar semua itu, sehingga semua orang tidak akan mengira kalau pembunuhnya laki-laki ...."

Chen terpana, menatap si detektif yang sedang menatapnya dengan yakin.

"Dan masalah tidak adanya sidik jari," Zea terlihat menghela napas dan menggeleng, "apa kamu melakukan sesuatu pada si ahli forensik? Apa kamu mengancam Anita agar tidak membocorkan apa pun?"

Tawa Chen rasanya hampir muncrat. Mengapa Anita dibawa-bawa dalam hal ini? Untuk apa dia mengancam dokter itu, untuk menutupi kejahatan yang sama sekali tidak diperbuatnya?

Untuk beberapa saat keduanya beradu pandang saling menantang, Sampai tiba-tiba ponsel Chen berdering dengan nyaring di saku. Tanpa melepas pandangan dari Zea dirogohnya saku celana dan menarik ponsel dari dalamnya.

Ponsel masih berdering nyaring, mau tidak mau Chen melepas pandang dari Zea demi melihat ke layar. Namun, wajahnya menjadi tegang. Pasalnya yang menelepon adalah Anita. Bisa-bisa, Zea semakin menuduhnya macam-macam.

"Sebentar ...." Chen melangkah menarik pintu di sisi Zea hingga terbuka, kemudian melangkah meninggalkan sang detektif. Kakinya melangkah menuju balkon, menutup pintu kaca yang membatasi agar leluasa berbicara.

Kemudian, disentuhnya layar untuk menjawab panggilan. "Ada apa?" tanyanya seraya melempar pandangan ke arah bawah, di mana kendaraan berjajar karena macet.

"Ada seorang perempuan gila, memintaku menghapus setiap jejak pembunuhan yang dilakukannya. Sialnya, aku menurut."

Chen mendengkus. Apa Anita meneleponnya karena ingin curhat?

"Apa kamu bisa membantuku? Aku ingin sekali marah dan menjadi kejam, tapi enggak bisa. Sekarang aku jadi stress. Ditambah aku harus melakukan otopsi pada seorang korban mutilasi semalam. Ini membuatku mual dan takut. Aku butuh bantuanmu, Chen!"

Lagi, Chen mendengkus. Ini benar-benar melelahkan. Setelah dituduh membunuh oleh seorang detektif yang tidak kompeten, sekarang seorang dokter forensik yang sebenarnya seorang penakut, curhat tidak jelas.

KEEP SILENT (Completed) - TerbitWhere stories live. Discover now