I. Bercerita

823 50 2
                                    

Dengan langkah gontai Amirah Fatin atau yang biasa dipanggil Mira berjalan menuju ke rumah sahabatnya, Viona Fadrin yang biasa dipanggil Vivi ataupun Vio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan langkah gontai Amirah Fatin atau yang biasa dipanggil Mira berjalan menuju ke rumah sahabatnya, Viona Fadrin yang biasa dipanggil Vivi ataupun Vio.

Matahari cukup terik di pukul tiga sore itu. Mira mengeluarkan tisu kering dari sling bag-nya, menyeka peluh yang ada di keningnya. Matanya sedikit merah karena baru saja menangis. Lalu Mira mengambil gawai dari saku jaket warna abu-abu miliknya.

"Vi, gue ke rumah lo." Mira mengirim pesan untuk Vivi. Iya, dia hendak pergi ke rumah Vivi tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sementara jarak rumah Vivi dan posisi Mira berjalan hanya sekitar 500 meter.

Tak berapa lama Mira telah sampai depan rumah Vivi. Bermaksud memencet bel di samping pagar besi rumah Vivi, Mira malah mendapati pagar rumahnya tidak terkunci. Dia memperhatikan di halaman rumah tidak ada mobil Vivi. Mira sedikit cemas, takut kalau Vivi tidak ada di rumah.

"Ada di rumah kaga ya ini anak? Mana pager rumah kaga dikonci." Mira bicara dalam hati. Awalnya ingin berbalik badan untuk pesan ojek online lalu pulang saja ke rumah, namun akhirnya niatan itu ia urungkan. Akhirnya Mira memutuskan untuk masuk ke halaman rumah Vivi.

"Assalamualaikum." Mira sedikit berbisik sambil membuka pagar.

Mira melangkah perlahan menuju ke pintu utama rumah Vivi.

"Tok tok.." Sedikit bergema suara pintu yang diketuk oleh Mira akibat suasana hening sore itu. Tidak ada jawaban dari pemilik rumah. Mira mengulangnya beberapa kali, tetap tidak ada jawaban.

Mira melirik ke arah kamar Vivi yang kebetulan dekat dengan pintu utama rumah, jendelanya terbuka. Mira melangkah perlahan ke arah kamar Vivi. Dia mendapati Vivi sedang berbaring di kasurnya sambil membaca novel, sambil sesekali menggaruk-garuk betisnya.

"Woooy, jorok banget lo!" Teriak Mira sambil menggedor jendela kamar Vivi.

"WOY, MAU MALING LO YA!" Vivi panik.

"Mau dong dimaling hati aku!" Ledek Mira.

"Ah, sial lo, Mir. Lo kok udah sampe sini sih?" Tanya Vivi.

"Gue chat lo tadi udah sampe depan gang rumah lo. Hehe." Mira melakukan pembelaan.

"Kebiasaan banget ya." Jawab Vivi sambil beranjak menuju jendela tempat Mira berada.

"Lewat jendela aja deh lo, Mir. Mager banget gue bukain pintu, di rumah lagi pada kaga ada orang juga." Kata Vivi sambil melebarkan jendela kamarnya.

Mira menuruti permintaan Vivi untuk masuk ke kamar via jendela. Keduanya kemudian duduk di pinggir kasur. Mira terdiam, tatapannya kosong.

"Lo lagi liat apa sih, Mir?" Tanya Vivi kepada Mira yang masing bengong.

"Mir? Amira? Amirah Fatin?" Bisik Vivi.

"Eh, kenapa, Vi?" Tanya Mira sedikit gelagapan.

"Lo lagi ada masalah? Gue ajak ngobrol diem aja, mana mata lo merah. Ngeluarin cakra lo?" Ledek Vivi.

"Ada sih, cuma lagi males banget mau cerita. Entar aja ya, Vi?" Kata Mira dengan lembut.

"Eehh, ya udah deh. Lagian lo jam segini bukannya salat ashar malah kelayapan sampe rumah gue." Vivi tertawa.

"Iya, entar lo imamin gue ya. Hehe." Mira sedikit terkekeh.

"Sori sori aja nih, Mir. Gue kan masih suka cowok. Tapi kalo sama lo boleh juga." Vivi mencoba berkelakar.

"Hilih, gimbil!" Mira membalas omongan Vivi.

Vivi yang benci dengan candaan Mira tersebut langsung melempar bantal ke arah Mira. Setengah membanting Mira ke kasur, Vivi mencoba menutup wajah Mira dengan bantal yang lain.

"Viii.. Viiiooo.." Mira mencoba berteriak. Barulah Vivi membuka bantalnya.

"Lo mau bunuh gue?" Mira masih terengah-engah pasang muka marah.

"Ih, ga gitu. Gemes doang gue mah." Kata Vivi sambil mengarahkan bibirnya ke kening Mira.

"Ga usah cium-cium!" Mira membentak sambil mengelap bekas ciuman Vivi di keningnya. Meskipun tampak marah, sebenarnya Mira merasa sedikit tenang karena kecupan hangat dari sahabatnya tersebut.

"Terus mau lo apa, Mir?" Tanya Vivi dengan nada tinggi.

"Ih, jangan marah!" Mira agak takut dengan nada bicara Vivi. Lalu dia melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Vivi, kepalanya disandarkan ke pundak Vivi.

"Makanya, cerita sini sama gue. Jangan kebiasaan dipendam sendiri. Kan lo sobat terbaik gue." Vivi sedikit halus bicara ke arah Mira. Tangan kirinya memegang pipi kanan Mira, sedikit mencubit karena merasa gemas.

Mira yang diperlakukan seperti itu meneteskan air mata. Sedikit menunduk ke bawah sambil terisak.

"Jangan cengeng. Ada gue."
"Mira. Udah."
"Mir. Lihat ke mata gue. Lihat, gue ada di sini buat lo. Jangan nangis." Vivi mencoba menenangkan perasaan Mira.

"Gue mau cerita, tapi pasti lo bosen." Mira menjawab dengan suara bergetar.

"Emang ada apa sih?" Vivi semakin penasaran.

"Gue sama Marvin barusan berantem, terus gue diturunin di pinggir jalan." Mira semakin kencang menangis.

"Heh, udaaaaah nangisnya. Cerita dulu." Kata Vivi sambil memberi pukpuk di pundak Mira.

"Emang berantem gara-gara apa?" Vivi bertanya dengan wajah serius.

"Gue malu ceritanya." Jawab Mira dengan pipi memerah.

"Kenapa malu? Pasti lo lagi alay sampe-sampe diturunin di pinggir jalan." Tembak Vivi.

"Ih, enggak! Semua gara-gara Marvin." Mira membela diri.

"Kenapa Marvin?" Tanya Viona.

"Jadi tadi pas kita lagi jalan dia ngajak buat makan bakso. Tapi gue ga mau, soalnya gue lagi pengen makan ayam geprek." Mira menjelaskan.

Vivi diam sambil melepaskan tangan di pipi Mira. Tangan kanannya menjauhkan tangan Mira yang ada di pinggangnya. Kemudian dengan kedua tangan dia menegakkan kepala Mira. Mendekatkan kepala mereka berdua, lalu mulai berbisik ke kuping Mira.

"Mir, alay lo udah ga ketolong." Vio berbisik sambil merengut.

Mira yang mendengarnya terisak kembali. Air matanya masih menetes.

"Tapi, Viiii.."

-bersambung-

Sobat Terbaik - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang