“Sudah selesai?” pertanyaan itu tiba-tiba menyentak Kaleena, membuat tatapannya berpaling pada sosok lelaki yang kini berdiri tepat di hadapannya, Adren.
“Oh ya, hampir selesai. Pulang sekarang?” sahutnya dengan senyuman ceria seperti biasa. Senyuman itu, yang mampu menghangatkan hati Adren. Senyuman yang menularkan kebahagiaan dan sungguh menentramkan.
“Hm. Selesaikanlah. Aku tunggu”
Kemudian keheningan mengisi ruang di antara mereka. Kaleena kembali fokus mengerjakan jurnal hariannya yang harus disetor besok, sedangkan Adren duduk menunggu, mengarahkan tatapannya pada sosok gadis manis itu, menatap lamat-lamat mencari tahu keistimewaan apa yang dimiliki gadis ini hingga mampu mengusik hatinya, menumbuhkan rasa yang terlarang.
Menit berlalu, hingga adzan maghrib berkumandang, dan Kaleena telah menyelesaikan tugasnya.
“Selesaaaaii” serunya dengan suara khas dan tepuk tangan, lagi-lagi membuat Adren terkekeh.
Kekehan yang diakhiri dengan helaan napas berat dan tatapan sendu yang sama sekali tidak disadari oleh Kaleena.“Shalat dulu ya?” usul Kaleena tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya, memasukkan beberapa barang ke dalam tas.
“Di Masjid seberang jalan saja. Kita jalan kaki ke sana. Kebetulan pagi ini mobil aku parkirkan di sana”
“Boleh deh. Yuk”
Mereka keluar beriringan, melewati pintu khusus pegawai di restoran mewah tersebut.
Perjalanan menuju masjid diisi dengan obrolan yang tidak pernah ada habisnya sejak mereka bertemu. Tawa renyah dan suara cempreng Kaleena bersahutan dengan kekehan kecil dan suara dalam Adren hingga mereka sampai di Masjid lalu menuju arah yang berlawanan.
💐Setelah melipat mukena, Kaleena menyempatkan diri berdiri di sisi jendela untuk melihat lingkungan sekeliling masjid dari lantai dua bangunan mulia ini. Kegiatan ringkas nan sederhana tapi hampir tak pernah terlewatkan olehnya.
Mengingat dia ke sini dengan seseorang, Kaleena segera melangkahkan kakinya keluar dari ruang shalat dan menuruni tangga.
Di parkiran masjid, ia arahkan pandangannya ke segala penjuru untuk mencari Adren, dan menemukannya sedang bertelpon di sisi mobilnya. Menghormati privasi Adren, ia menghentikan langkah kakinya, berdiri diam dan menunggu hingga obrolan itu berakhir.
Cubitan di hatinya ditepis menjauh, “jangan Kaleena, jangan” batinnya sembari mengambil telpon seluler dari dalam tas dan mengaktifkannya.
Tak lama berlalu, Adren menyadari keberadaan Kaleena yang berjarak sekitar lima meter darinya,
“aku tutup dulu telponnya. Nanti aku kabari lagi.” Ucapnya mengakhiri obrolan.“Ayo berangkat, ngapain berdiri di situ” mengalihkan perhatiannya dari telpon menuju Kaleena.
Gadis itu mengarahkan pandangannya pada Adren. Pria itu melemparkan senyum, yang bahkan tidak mengguratkan garis halus di matanya, dengan sorot mata yang menyiratkan rasa bersalah sekaligus pengharapan. Kaleena mulai melangkah ke arahnya. Seiring langkah kaki Kaleena menuju Adren, dalam hatinya terus merapalkan kalimat-kalimat untuk meredam gejolak di hati. Keduanya memasuki mobil dan duduk, Adren di belakang kemudi sedangkan Kaleena di sisinya.
Mobil segera melaju setelah keduanya memasang safety belt masing-masing.“Mau makan malam di mana?” tanya Adren tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
“Makanan Jepang” jawab Kaleena asal. Kerutan samar muncul di antara alis Adren karena respon tak bersahabat Kaleena padanya.
“Sushi?” Adren mencoba bertanya lagi untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa dingin.
“Hm.” Respon Kaleena membuat Adren menghela napas berat, namun tidak bertanya lebih jauh. Ya, Adren tidak bertanya. Ia cukup mengerti Kaleena nya yang ekspresif. “Maaf Kaleena” batinnya.
💐
Makan malam itu diisi keheningan setelah sekian kali Adren mencoba memancing tutur ceria dan tatapan hangat Kaleena, tapi sia-sia. Tidak satu pun dari mereka berdua yang bisa menikmati makanan yang disajikan oleh pramusaji.
“Ayo pulang, aku lelah” ajakan spontan Kaleena sedikit menyentil emosi Adren. Kaleena mengajaknya pulang bahkan saat suapan terakhir belum sempat ditelannya, seolah-olah gadis itu sudah menunggu suapan terakhirnya.
Pria itu meletakkan sumpit dengan kasar, memundurkan kursi dan beranjak menuju kasir dengan wajah dingin menahan marah. Kaleena terpekur, tak menyangka Adren akan semarah ini. Ya, Kaleena kesal, dan dia tak pernah mampu menyembunyikan emosinya, Adren mengetahui hal itu, seharusnya pria itu mengerti, bukannya ikutan marah. Kekesalan Kaleena bertambah dan berlipat-lipat karenanya.
Riiingg,,, riiingg...
Telepon selular milik Kaleena berbunyi, “Halo. Ya, sebentar lagi aku pulang.” Kebingungan tampak jelas diwajah Kaleena “tumben sekali dia menghubungi hanya untuk menanyakan kepulanganku?” batinnya.
“Ayo, katanya kau ingin pulang” suara itu terdengar dingin. Kaleena hanya menganggukkan kepalanya tipis sebagai respon dan berjalan melewati Adren tanpa peduli pada kemarahannya yang terpancar jelas.
Pria itu menarik napas dalam mencoba mengendalikan diri, dia tidak ingin emosinya membuat Kaleena menjauhinya. Tidak, ia tidak rela Kaleena menjauh, dan yang dia ketahui, gadis itu tidak menyukai siapa pun membentaknya. Pada dasarnya Adren bukan pria yang sabar, tapi Kaleena berbeda, gadis itu bukan seseorang yang mampu ia genggam dengan erat.
Perjalanan pulang kali ini terasa panjang bagi mereka berdua. Bukan hanya kali ini, sering mereka berada di situasi tidak mengenakkan ini. Situasi yang dibenci Adren. Situasi yang serasa mencekik leher Kaleena, menyesakkan dadanya. Tidak jarang saat seperti ini membuatnya ingin melepas Adren, tapi....
“Ada yang sudah menunggumu” Kaleena tersadar dari lamunannya, menatap ke arah Adren yang menyorot tajam ke halaman rumah mungilnya. Kaleena menoleh dan ia mendapati sesosok tampan dengan senyum lebar di depan rumahnya. Tanpa sadar, ekspresi kebahagiaan dan tatapan rindu menggeser kelam yang sejak tadi menyelimuti wajah manisnya. Kaleena segera keluar, dan berlari menuju pria itu, yang selalu menunggu kedatangannya. Untuk sesaat, Kaleena lupa akan keberadaan Adren.
“Giooooooo” seru Kaleena gembira.
💐💐💐
Menerima kritik dan saran...
Mengharapkan ⭐ dari kalian 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
LANTANA
General FictionKaleena Sylvie, sang Bunga dari Hutan. Bagaimana kau menggambarkan bunga dari hutan? Liar? Tak bernilai? atau justru sulit diraih hingga menjadi istimewa? Iona Farand, sang Bunga Ungu yang Menyenangkan. Bagaimana pula kau menggambarkan bunga ungu ya...