HAPPY READING GUYS!
***
Dengan gontai Arvin melangkah masuk ke dalam area bar bersama dengan dua temannya. Balutan hoodie abu-abu berkupluk ia gunakan dengan paduan celana jeans berwarna hitam. Doni dan Ano yang berjalan di belakang Arvin sesekali berguyon dan bersenda gurau.
Arvin nampak tak tertarik dengan lelucon temannya yang biasa ia ikuti dengan penuh iringan kekehan dan gelak tawa. Namun kali ini, ia lebih memilih diam. Ada hal yang lebih menarik untuk dipikirkan olehnya.
Mereka bertiga memilih tempat di pojokan dengan sofa panjang sebagai tempat duduk. Seperti inilah rutinitas malam yang mereka lakukan setiap harinya.
Perlu dicatat dengan CAPSLOCK sekaligus bold dan italic juga boleh. SETIAP HARINYA.
"Tuh kan gara-gara lo sih Vin, si Arka pindah kelas," ciloteh Ano tak terima ketika mendengar kabar bahwa Arka tak lagi sekelas dengan mereka.
Tadi pagi, ketika pelajaran pak Sumanto, guru fisika mereka tiba-tiba mengadakan post tes yang biasa dilakukan setiap awal semester. Hal itu membuat tiga sejoli itu kaget dan protes tidak terima. Saat post tes berlangsung, Ano yang hendak menanyakan jawaban pada Arka tersadar bahwa dari tadi lelaki itu tidak ada di tempat duduknya. Lebih tepatnya, tidak ada di dalam kelas. Dan hal itu membuat angka nol tertera di dalam kertas tes itu, karna mereka sama sekali tidak mengisi apapun.
Setelah pembelajaran selesai, barulah Ano habis-habisan menceramahi Arvin dan meminta penjelasan serta klarifikasi tentang tidak adanya Arka di kelas.
Katanya, beberapa hari yang lalu, tak sengaja Arvin kepergok oleh Arka sedang mengerjai guru yang terbilang muda di sekolahnya. Namanya buk Ros. Arvin memasukkan anak katak ke dalam tas guru itu, hal itu membuat sang guru kaget dan memeluk Arvin.
Arvin yang memang dari sononya bejat dengan santainya mengatakan, "biar bisa modus."
"Lah! Lo kok nyalahin gue!" sanggah Arvin tak terima. Pindahnya Arka bukan salahnya, salahkan saja Arka yang terlalu membela guru-guru muda disekolahnya dengan alibi "lo salah Vin, dia cewek! Kebayang ga mama yang digituin?"
Hal tersebut membuat mereka bertengkar hebat.
"Udah tau Arka orangnya penyayang dan tidak suka menyakiti, lo malah jailin guru di depan dia. Ya ngamuk lah," kata Doni.
"Dia bawa-bawa mama mulu. Hidupnya flat kayak muka buk Ros." Arvin terkekeh setelah mengatakan itu.
"Trus nasib kita gimana woi, ah elah. Di kelas sih emang nggak ada yang bisa nolak pesona lo. Tapi susah njir, 'kan sumber tambang kita Arka," ujar Ano nelangsa.
Doni mendengus membayangkan nasib temannya ini tanpa Arka. Mereka tidak sekelas, Doni malah tersasar ke IPA 2.
"Hilangkan tambang contekan kita," kata Ano lagi.
Arvin mengedikkan bahunya tak peduli lalu tersenyum remeh memandang Doni dan Ano. "Selama ada gue kalian aman-aman aja." Nada bicara nya berubah menjadi santai ketika terbesit sebuah ide didalam otaknya.
Keduanya mengernyit, "Kok perasaan gue jadi ngga enak ya?" ujar Ano.
"Lo sih Vin ngapain sih sok ngambil-ngambil jurusan IPA, udah tau nilai nggak mencukupi kaya isi otak lo!" sambung Doni mengingat yang memaksa ia dan Ano untuk masuk IPA adalah Arvin. Katanya, 'biar keren'. Arvin mana mau kalah dari Arka, jika Arka IPA, ia juga harus IPA.
Arvin yang merasakan ternistakan menoyor kepala Doni dengan bantuan kedua jarinya.
"Enak banget lo ngomongin gue. Lo lupa gue masuk IPA karna prestasi gue di SMP?Bawa tim basket ke nasional, lo pikir itu apaan. Lo aja kali yang mau ngikut-ngikut gue."