"Ketahuilah, sungguh di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, baiklah seluruh tubuh. Jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)
Langit abu-abu, tidak terlalu petang, mungkin hujan akan turun, atau mataharinya yang belum juga muncul, entahlah, do'aku semoga jangan hujan selama perjalanan, itu saja. Aku menelpon pak Rohman -orang kepercayaanku- untuk mengurus penjualan Ice Care selama aku pulang sekalian pamit. Aku juga menelpon Indah untuk pamit, meskipun sebenarnya dia sudah tau jika hari ini aku pulang, dua kali aku menghubungi nomornya, tak ada jawaban, mungkin masih tidur, pikirku. Buku dan oleh-oleh aku bungkus menjadi dua kardus ukuran sedang, satu aku letakan di depan antara jok dengan setang, satunya lagi aku tali dengan karet di jok belakang. Aku mengucap Bismillah sebelum menyalakan motor, besiap, lalu, perjalanan pulang dimulai.
Dua jam perjalanan aku memutuskan istirahat di depan minimarket, membeli air mineral sekalian mengisi bensin di pom. Aku memang tidak terlalu kuat jika menyetir lama, wajar, fisik perempuan tidak sekuat laki-laki, meski tidak semua begitu. Lima belas menit istirahat aku melanjutkan perjalanan. Satu jam lagi aku akan bertemu dengan ibu, sepanjang jalan yang ku lewati adalah hijaunya pepohonan, kampungku memang jauh dari pusat kota, seperti kebanyakan kampung pelosok di Jawa, jarak antar kampung jauh, satu kampung terasa satu keluarga.
Sudah lama aku tidak pulang, sedikit haru ketika motorku berhenti tepat di depan rumah. Tetiba aku mendengar suara pintu dibuka dari dalam, "itu pasti ibu", batinku.
"Kak Hariiiinn."
Anak perempuan kecil berlari ke arahku, Majida namanya, usianya empat tahun, cucu dari adiknya ibuku, ternyata sedang berkunjung ke rumah, berarti ibu sudah pulang dari sawah. Menyenangkan melihat tingkah Majida, aku menurunkan dua kardus bawaanku.
"Haiii Majida." Ia memelukku, aku menggendongnya.
"Jida kangen sama kakak."
"Sama kak Harin juga kangen sama Jida."
"Ibuuu." Ibu menyambutku di depan pintu.
Aku menurunkan Majida untuk bersalaman dengan ibu lalu memeluknya. Meski sudah terbilang dewasa, aku selalu manja di depan ibuku, memang begitu, berapapun usia kita, dimata orang tua, kita adalah anak kecilnya yang ingin selalu mereka lindungi. Cukup lama aku memeluk ibu, menumpahkan semua rindu enam bulan tak saling bertemu.
"Masuk Rin, ibu udah masak makanan kesukaanmu."
"Iya bu."
Aku, ibu, dan Jida masuk ke rumah, sedangkan kardusnya dibawa dek Zaida, ibunya Jida, sebenarnya dia lebih tua dariku, namun karena dia anak dari adiknya ibuku makanya aku panggil dia adek. Kami bercengkrama hingga adzan dzuhur berkumandang. Dek Zaida mengajak Jida pulang, aku memintanya untuk membawa sebagian oleh-oleh yang aku bawa, sekalian buku yang ku beli untuk Jida dan Yusuf -kakak Jida-, ia mengucapkan terimakasih dan salam sebelum pulang.
Hari menuju sore, senja memeluk desa dengan indahnya, matahari sebentar lagi tenggelam, biasanya pemuda desa menghabiskan waktu sore mereka dengan bermain sepak bola di lapangan dekat desa, sebelum maghrib datang, mereka masih akan bermain meski hujan turun dengan lebatnya, namun sore ini langit terang benderang, semburat warna jingga menambah elok pandangan mata. Malam datang bersama sunyi yang menghampiri desa, ibu pamit untuk sholat jamaah di Masjid, beliau belum akan pulang hingga selesai sholat isya'. Sepeninggal ibu ke masjid, aku sholat maghrib, tadarus al Qur'an lalu melanjutkan membaca novel yang ku beli kemarin. Setengah delapan ibu pulang, aku membuatkan teh hangat untuk beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELAKSA -tidak mudah menjadi perempuan-
Romanceselalu ada kekuatan di belakang kita yang lebih besar sari usaha yang kita lakukan. "menjadi perempuan bukanlah pilihan, bersyukur adalah cara terbaik berterimakasih pada Tuhan" -Harin.