Bab 2

17 5 0
                                    

Ayaka tertegun saat dirinya di keluarkan dari sekolah tanpa melakukan kesalahan apa-apa. Ayaka bingung harus mengatakan apa pada kedua orang tuannya.

"Pa, saya mohon, izin kan saya untuk tetap bersekolah di sini sampai ujian nanti, setelah itu saya kan sudah masuk SMP. Aku mohon pak, ujian sebentar lagi." Ayaka benar-benar memohon dengan sangat belas kasih dari kepala sekolah. Sakit, pasti namun Ayaka harus bisa tahan dengan semua ini.

"Baik, tapi kamu saya skorsing sampai waktu ujian datang."

Lalu bagaimana cara aku belajar?

Ayaka lagi-lagi menunduk akan tindakan itu, namun paling tidak dia bisa ikut ujian sekolah. "Baik lah, terimakasih bapak sudah mau memberikan saya kesempatan," katanya memberi salam dengan sesopan mungkin.

Ayaka pun segera keluar dari ruang kepala sekolah, sorot matanya menurun hatinya terasa panas dan sesak. Mungkin jika air mata itu kering, itu adalah hal yang terbaik untuk Ayaka, karena jika itu terjadi, sudah tidak ada kata tangis dalam hidupnya.

Langkah demi langkah sudah dia jelajahi dari belakang sekolah hingga ke depan gerbang. Walau tidak ada kenangan dalam sekolah, tapi tetap saja ia akan berterimakasih pada guru yang sudah mengajarkan ilmu padanya. Mata dia melirik ke arah gedung sekolah yang akan ia tinggalkan, membuatnya sadar jika dunia memang tidak menyukainya.

"Ayaka...."

Ayaka tersenyum saat seseorang memanggilnya begitu lembut. Angin pun mengibas rambut panjang nya saat ia menoleh ke kiri tangannya.

"Paman, memanggilku?" Ayaka bertanya saat di sampingnya berdiri seorang pria dewasa dan tinggi.

"Kamu sadar ternyata, aku kira kamu akan terus mengabaikanku." Pria itu tersenyum sambil menunduk melihat wajah gadis kecil yang terlihat begitu lusuh, "mau jalan-jalan?" ajaknya.

Ayaka pun tersenyum dan mengangguk saat mendapat ajakan yang begitu halus dan lembut. Ayaka senang, karena dia belum pernah di perlakukan seperti itu dari siapapun, termasuk orang tuanya yang hanya datang untuk memarahinya agar tetap menjadi anak yang baik. Ayaka pun bertanya, "Nama paman siapa?"

"Nakato," balasnya di sela langkah panjanganya.

"Ohh, aku tidak pernah melihat paman. Apa paman tinggal dekat sini juga?"

"Iya, paman tinggal dekat rumah kamu, bahkan sangat dekat dengan kamu."

"Paman kenal sama Ayaka?"

Nakato pun tersenyum melihat suara itu keluar begitu banyak. Nakato sebenarnya ingin berbicara lebih banyak, namun dia melihat sekeliling sedang membicarakan gadis yang begitu bahagia berbincang dengannya. "Ayaka, kita pulang."

Seketika raut wajah Ayaka menurun, saat paman baik itu mengajak ia pulang, karena Ayaka tau jika dia kerumah dia akan kembali kesepian "Paman, aku tidak mau pulang. Aku mau terus bareng sama paman," isaknya memeluk pria yang sangat baik padanya.

Ayaka pun terkaget saat tubuhnya terjungkal saat memeluk pria di depannya. Matanya terbelalak saat dia tidak bisa menyentuh tubuh pria itu. Beribu tanya kini hinggap di kepalanya.

"Pa-paman han-hantu...," Ayaka pun jatuh pinsan karena melihat mahkluk tak kasat mata tepat di hadapannya.

Orang-orang di sana benar-benar masa bodo akan keadaan akan kecil yang pinsan di jalan. Menurut mereka Ayaka adalah anak setan, karena berbeda dari yang lain.

Tidak di sangka hari mulai sore, Ayaka kini masih ada di tengah jalan. Atensinya kini melihat sekeliling tidak ada lagi pria itu, atau orang-orang di sekitarnya.

Ayak pun segera bergegas untuk pulang ke rumahnya. Melihat rumah besar dan di huni oleh gadis kecil, tentu saja membuat suasa menjadi sepi sunyi dan mencekam. Walau Ayaka sudah bertahun-tahun hidup sendiri, ia tetap merasakan takut dengan suasana rumah yang begitu sunyi.

Lagi-lagi Ayaka menatap makanan yang sudah tertata rapih di depan meja, pembantu rumahnya selalu pulang kerumahnya sebelum Ayaka datang. Ayaka sama sekali tidak tau wajah pembantunya itu.

Smrik angin dingin masuk ke pori-pori kulitnya, membuat bulu kuduknya merinding. Ayaka mengingat ia sudah bertemu hantu dan membuatnya semakin takut akan kedatangan hantu lain di rumahnya.

Merasakan suasana yang semakin dingin, Ayaka berlari ke dalam kamar dan menelephone ibunya untuk segera pulang.

"Bu, aku takut. Kapan ibu pulang?"

"Ibu nggak bisa pulang Ayaka, kerjaan ibu banyak. Lagian rumah itu aman, selama gerbang kamu kunci, tidak akan terjadi apa-apa, oke!"

Ayaka meringkuk di bawah meja saat lampu di rumah tiba-tiba mati. Gadis itu benar-benar ketakutan, tidak ada orang yang bisa ia peluk, tidak ada orang yang menenangkannya di saat seperti ini.

Aku takut...

Ayaka menangis sendiri di dalam kamar, karena lampu rumah tidak kunjung menyala karena ada pemadaman listrik di perumahannya. "Ayah, ibu..." Ayaka terus memanggil nama orang-orang yang dia sayang.

Tidak ada kontak di ponselnya selain nama ayah dan ibunya. Miris! Pasti, anak itu harus bermalam dengan suasana gelap sendirian di rumah yang besar dan sunyi.

Terdengar bunyi krieet! Pintu kamar terbuka membuat Ayaka menekuk kakinya dan membenamkan wajahnya dengan erat.

Aku takut!

Gadia kecil itu benar-benar ketakutan, ia terisak hingga malam datang menyambut. Lampu runah tidak kunjung menyala membuat Ayaka ketar-ketir di tengah kegelapan. Matanya terus terjaga walau tidak satu arah pun yang bisa ia lihat.

Suara geraman terdengar di telinganya, angin dingin tiba-tiba menghantam tubuhnya membuat Ayaka menjerit kencang ketakutan. "Ibu!!"

Walau jeritan itu cukup kencang, namun tidak ada satu warga pun yang peduli dengannya. Ayaka berlari, ia berlari di tengah kegelapan, ia tidak memperdulikan kesematannya saat berlari tanpa tau arah mana yang harus ia tuju. Yang dia mau hanya segera keluar dari rumahnya.

Kyaa!

Suara teriakan kembali tersengar, tapi kali ini di barengi dengan barang-barang yang ikut jatuh bersama dengannya. Ayaka berguling dari atas tangga menghantam banyaknya anak tangga cukup membuat tulang mudanya patah.

Darah segar pun mengalir, Ayaka hanya mengerang kesakitan berkata  Tolong! Pun tidak mampu.

Lampu pun menyala tepat di jam 00.00 malam, membuat ayaka menangis melihat ia berlumuran darahnya sendiri. Ayaka hanya bisa menangis miris akan keadaanya.

"Tolong!"

Gadis kecil itu bergerak walau dengan cara mengesot penuh darah meminta bantuan, walau ia yakin tidak ada yang mau membantunya.

Darah terus menapak mengikuti arah tubuhnya membuat Ayaka terus terisak akan kondisinya. "Ibu sakit, ini sakit bu."

Ayaka pun tak kuasa menahan sakit yang ia terima, darah yang tidak berhenti mengalir membuatnya kehabisan tenaga.

Hingga paginya...

Suara teriakan itu keluar bukan dari seorang gadis kecil, melainkan dari pembantu yang mengurus rumah milik Ayaka.

Meihat darah bercecer di mana-mana di tambah dengan tubuh gadis kecil yang sudah pucat tidak bergerak.

Pembantu itu lantas memanggil ambulance untuk menangani gadis kecil yang sudah pasti mati kehabisan darah.

Dunia seakan menangis. Hujan turun begitu lebat saat  gadis kecil bernama Ayaka ini keluar dari rumahnya masuk kedalam mobil ambulance.

Kain putih yang menutupinya, kini di terbangkan angin hingga terlihat wajh pucat penuh darah milik Ayaka membuat warga yang melihat saling bergunjing.

Kasihan, tapi biarlah dia mati dia kan aneh!

Air mata mengalir, atau kah itu hanya tetesan hujan mengenai pipinya. Yang jelas, Ayaka tau kebencian mereka tidak berdasar.

Ibu aku di mana? Aku taku, sendirian jangan siksa aku seperti ini.

World Is Mightier The SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang