Tujuh

82 6 0
                                    

Arga ke luar dari mobilnya. Asya seperti sedang bertemu artis aja. Arga seperti syuting film CEO perusahaan yang baru saja turun dari mobil. Membuka kacamata hitamnya dengan senyum khasnya.

"Ngapain lo di sini?!" tanya Asya datar.

"Elah!"

Asya mengerutkan keningnya. Arga seperti orang kebingungan sekarang. Padahal, Asya cuma bertanya apa susahnya menjawab.

"Woi! Yang kirim pesen ke gue siapa?"

"Siapa juga yang kirim pesen ke lo," celetuk Asya sambil memutar bola matanya.

"Nih, bocah! Liat, nih!" Arga langsung menyodorkan ponselnya dan menunjukkan pesan Asya kepadanya.

Asya terkejut bukan main. Itukan pesannya untuk Zidan. Kenapa sampainya ke Arga. Berarti Zidan masih nungguin Asya, dong.

"Zeeee!" geram Asya dengan tangan mengepal. Ekspresi wajahnya udah seperti mau makan orang.

"Udah, deh. Lo harus tanggung jawab sama pesan lo!" tegas Arga.

"Hah? Maksudnya?"

Arga yang gemas langsung saja menarik tangan Asya dan memasukkannya dalam mobil. Setelah itu, Arga langsung menjalankan mobilnya dan melesat cepat.

"Kok lo asal bawa-bawa gue aja, sih?!" gerutu Asya cemberut.

"Emangnya kenapa? Lo gak mau gue ajak jalan?"

"Ya ... bukan gitu, Zidan masih nungguin gue, nanti di--"

"Sssttt! Lo tenang aja, gue udah kasih tau Zidan, kok."

"Apa? Se--sejak ka--"

"Udah diem, jangan berisik. Gue mau ngajak lo ke suatu tempat."

"Ke mana?"

Arga menghela napas. Emang susah kalau bilangin anak ayam. Berisik terus, gak mau diam. Ya seperti Asya ini.

Arga dan Asya pun sampai. Betapa terkejutnya Asya melihat pemandangan yang luar biasa indahnya itu. Asya tidak menyangka, Arga tau tempat seindah ini.

"Arga, ini bagus banget," ucap Asya dengan mata berbinar-binar. Ingin rasanya ia menangis sekarang juga.

"Tidak usah memuji, aku memang pandai dalam mencari tempat," tukas Arga dengan bangganya.

Asya menjitak kepala Arga. "Cih, sombong mulu!"

"Pelan-pelan napa, sakit tau! Dikira pala gue terbuat dari batu!"

"Iya mungkin, lo, kan kepala batu!"

Benar-benar anak satu ini. Taunya cuma buat orang kesal ditambah geramnya setengah mati. Kalau bukan orang udah Arga cabik-cabik mukanya, biar tau rasa.

"Asya, gue mau nanya," pungkas Arga benar-benar serius.

"Nanya aja kali, pakai laporan segala, biasanya juga nyerocos aja." Asya mulai berjalan ke arah pantai. Benar, mereka berdua pergi ke pantai yang lumayan terkenal. Di sana terdapat banyak tempat untuk duduk dengan hiasan cantik.

Beraneka lampu kelap-kelip menyala. Menambah keindahan yang luar biasa di tempat itu. Di sana juga terdapat lampion, yang siap diterbangi kapanpun.

"Gue serius, Asya."

Asya menghela napas dan langsung berbalik menghadap Arga. Mata mereka bertemu. Ada rasa deg-degan diantara keduanya. Untuk mengurangi rasa canggung, Asya pun mulai membuka suara.

"Iya, Arga. Asya juga serius, mau ngomong apa, sih?"

"Ah elah, kok jadi blushing gini, sih gue!" batin Arga.

Pipi Arga memerah. Ia benar-benar memalukan. Saat itu juga Arga membuang wajahnya dan menjauh dari Asya. Ia tidak ingin Asya melihat pipinya yang sudah seperti kepiting rebus.

"Gak jadi, deh!"

Asya melongo. Anak itu benar-benar membuat Asya pusing. Kerjaannya selalu gak jelas. Dikirain seriusan, eh malah gak jadi, pikir Asya.

"Dasar bulu ayam!" umpat Asya kesal.

Sudah lama berada di pantai. Mereka berdua pun pulang. Angin sudah mulai berhembus kencang. Takut kalau mereka masuk angin. Apalagi saat ini, Asya dan Arga tidak membawa jaket.

Setelah sampai, ternyata tiga curut itu belum juga tidur. Mereka asik mengobrol namun tidak dengan Bayu. Arga sudah paham bagaimana Bayu. Mana mungkin dia mau gabung, pasti akhirnya dia yang gak nyambung.

"Widih, babang kita udah pulang, nih," ucap Bayu sambil terkekeh.

"Babang palak lu botak!" seru Arga dan langsung ikut nimbrung bersama Zee dan Zidan.

"Udah pulang, Sya?" tanya Zee dengan senyum tanpa merasa bersalah.

Asya langsung menjitak kepala Zee dengan keras. Setelah itu, ia langsung tersenyum puas. Asya, tidak memberi pelajaran bagi iblis itu? Hah, itu bukan Asya namanya.

"Aduhh, apaan sih, dateng-dateng main jitak aja!" protes Zee sambil mengusap-usap kepalanya.

"Masih gak ingat lagi?" tanya Asya dengan mata melotot tajam.

"Apa?"

"Dasar lo ya! Nomor siapa yang lo kasih ke gua, hah?!" Asya menarik kerah baju Zee.

"Ampun, Bos. Gue lupa kalau gak punya nomor, Zidan. Jadi, gue kasih nomor Arga biar lo tanya ke dia," jelas Zee.

Sedangkan yang lain, hanya bisa bergidik ngeri melihat Asya. Dia benar-benar seperti ibu tiri yang kejam saja. Selalu menindas anak-anak yang tidak bersalah.

"Lo gak ada bilang, itu nomor Arga kampret!"

"Lo nya aja yang gak nanya!"

Satu pukulan lagi mendarat di perut Zee. Hal itu membuatnya meringis kesakitan. Ia benar-benar bersalah tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.

"Itu balasan buat lo! Udah ah, gue mau tidur, capek kalau mau ladeni kalian berempat!" cetus Asya dengan santainya. Bahkan, ia merasa bukanlah pelayan, tetapi teman yang sering menghajar para ahli waris.

"Siapa juga yang mau diladeni," ucap Zee pelan.

"Eeh, tunggu!" seru Asya yang sepertinya mulai menyadari sesuatu.

"Apaan, sih?"

"Kalau ada empat, kerjaan gue bertambah dong. Kalau gitu gue gak mau kerja lagi, ah!" tegas Asya dengan gaya sok ogah-ogahan.

"Loh, kok lo gitu sih, Sya. Lo udah terikat kontrak ya sama kita, kak Lucia yang bilang sendiri. Lo bakal kerja yang bener!" protes Zee.

"Gue mau kerja, dengan satu syarat!"

Asya tersenyum simpul dengan tangan dilipat di depan dada. "Gaji gue harus naik! Kan, sekarang udah nambah Zidan. Pastinya, kerjaan gue nambah satu orang, dong!"

Keempat pria menepuk jidatnya masing-masing. Mereka pikir, syaratnya bakal yang aneh-aneh. Ternyata, hanya minta tambahin uang gaji.

"Lupa gue!" tukas Zee.

"Ngapa, Zee?" tanya Bayu.

"Kalo dia mata duitan!"

"Serius? Matanya penuh duit gitu?" tanya Bayu dengan polosnya.

"Ini lagi! Tambah goblok aja lo, gak nyambung!" celetuk Arga kesal.

"Hehe, sorry! Otak gue emang sedikit gesrek," pungkas Bayu sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Bukan sedikit lagi, emang udah gesrek parah kali!"

_

_

Tuan Muda Tampan(Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang