Disclaimer: Harry Potter and all characters belongs to J. K. Rowling. Semua adegan dalam cerita ini murni hanya karangan fans yang sifatnya sekedar menghibur. Kesamaan cerita dalam bentuk apapun adalah kebetulan semata.
Perang usai. Voldemort musnah. Hogwarts sudah dibangun kembali. Suasana dunia penyihir juga sudah kembali, tapi ada yang tidak kembali, perasaan Harry Potter yang aman sentosa tanpa cercaan dan teriakan histeris dari para fans. Menjadi pahlawan ternyata tak selamanya membahagiakan. Harry sudah membuktikan hal itu, ia justru jengah dengan sikap beberapa penjilat di sekitarnya.
Ya.... walaupun sikap banyak orang sudah berubah baik padanya, nyatanya masih ada saja yang tetap membenci seorang Harry Potter. Salah satunya adalah pangeran tampan di asrama Syltherine bernama Draco Malfoy. Pria bersurai pirang platina itu sampai saat ini masih bersikap dingin pada Harry walaupun Harry telah menyelamatkan orang tuanya dari hukuman mati di kementerian sihir.
Harry memberi kesaksian bahwa keluarga Malfoy telah banyak membantunya di tengah peperangan tanpa sepengetahuan Voldemort. Memang sudah tidak ada lagi lempar mantra antara Draco dan Harry, tapi bagi Harry, sikap apatis Draco padanya sukses menyayat hati pria berkacamata itu.
Entah sejak kapan, perasaan aneh menelusup ke dalam hati Harry. Ia ingat betul bagaimana Draco menatap wajahnya saat berada di Malfoy Manor. Draco dengan baiknya menyelamatkan Harry dari cengkeraman Bellatrix yang gila itu. Diacuhkan oleh Draco jauh lebih menyakitkan dari pada perang mantra yang biasa mereka lakukan. Harry merasa seperti tidak terlihat.
"Oh... Harry Potter, pahlawan tampan penghancur Voldemort." suara sinis dari Theo terdengar seperti biasa di telinga Harry. Saat pelajaran pertahanan sihir hitam usai, Harry tau bahwa ia akan kembali menjadi bulan-bulanan trio Syltherin. Apalagi karena Ron dan Hermione pergi ke perpustakaan duluan.
"Kacamatamu itu jelek sekali Potty, tidakkah pahlawan bisa membeli yang baru?" Sambung Blaise Zabini dengan nada meremehkan.
Disaat perang sudah berakhir, masih ada saja gerombolan anti Harry Potter. Draco yang berjalan dengan Theo dan Blaise hanya diam saja tanpa menanggapi ucapan dua sahabatnya yang menyindir Harry.
Harry menghembuskan napas pasrah, bukan hal baru bila ia diacuhkan oleh Malfoy muda itu.
Memang mustahil jika tiba-tiba mereka menjadi akrab. Tapi tidak bisakah ia mengharapkan hal indah itu? Sedetik saja.
"Kenapa kau memandang Draco seperti itu? Mau cari ribut ha?!" Ucap Theo lagi dengan nada sarkas.
Harry hanya diam. Theo, Blaise, dan Draco pergi berlalu meninggalkan Harry dengan segala luka yang mereka torehkan.
"Sudahlah, Harry. Jangan dipikirinkan, mereka hanya iri padamu" Ucap seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Ginny Weasley. Gadis itu sekarang sudah menjadi seperti adiknya sendiri, walaupun awalnya kedekatan mereka dipandang lebih dari itu. Ginny mengusap lembut pundak Harry seolah memberinya sebuah kekuatan untuk bertahan.
"Yaa... aku juga tidak akan memikirkannya. Ini sudah biasa bukan?" Balas Harry santai meski sakit.
Harry pov
Koridor sekolah tidak lagi ramai. Aku melihat ke arah jam besar di pojok ruangan. Sudah jam sepuluh malam. Gelap memang, aku segera mengeluarkan tongkat ku untuk memberi pencahayaan.
Bukan hal baru buatku berjalan di tengah malam begini. Aku selalu menyukai suasana danau yang sepi dan aku agak ehem.... insomnia, entah karena apa. Kadang kalau bukan karena ramuan tidur, aku tidak bisa tidur sama sekali. Menjadi pahlawan nyatanya membuat ruang gerak ku semakin sedikit dan itu mengganggu. Aku kesulitan menyendiri dan mendapat ketenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart
FanfictionDrarry (Draco Malfoy and Harry Potter) Disclaimer: Harry Potter belongs to J. K. Rowling Usai kematian Voldemort yang melegakan banyak orang, hidup Harry Potter mengalami banyak perubahan termasuk cintanya. Draco Malfoy yang kehilangan orang tuanya...