1. I SEE YOU

4.9K 223 5
                                    

#Beberapa hari sebelumnya..

Hampir sekitar lima menit Carter hanya memperhatikan ayahnya menata ruang keluarga rumah mereka dengan beberapa penghias ruangan termasuk lukisan kapal uap Austro-Hunggaria Baron Gautsch yang pria itu beli beberapa tahun silam di toko barang antik di New York ketika mereka mengunjungi Ashley, adik perempuan pria itu yang kini menetap di New York. Pria itu memiring-miringkan pigura tua tersebut, mencoba mengatur letaknya agar terlihat pas.

Ya, ini hari ketiga sejak mereka pindah di rumah itu. Carter tak menyangka keluarganya akan melakukannya secepat ini. Bahkan ibunya yang bekerja sebagai seorang perawat di sebuah rumah sakit tak mengambil cuti sehari pun untuk kegiatan itu. Namun, bisa dibilang acara pindah rumah tersebut begitu ringan dan cepat berlalu. Mungkin karena ayahnya yang bekerja keras dan pandai memanfaatkan waktu mengurusi semuanya? Ya, Carter berani akui itu.

Carter meletakkan beberapa mainan Santa Claus lengkap dengan para kurcaci di sekitar perapian dan mensejajarkannya. Termasuk hadiah boneka rusa milik Emily, adik perempuannya yang baru minggu lalu menginjak usia tiga tahun.

Sam berhenti dari aktifitasnya dan memandangi sebentar kreasi putra ke tiganya itu sebelum memulai pembicaraan. "Ini bukan natal dude. Kenapa kau meletakan mereka di sana?"

"Agar Emily bersikap baik."

"Bersikap baik?"

"Dia akan berpikir natal segera tiba dan Santa Claus akan datang, dan memberinya mainan yang selama ini dia inginkan."

"Dan dia mencoba untuk menjadi anak baik?"

"Dan berhenti menggangguku."

"Ide bagus Carter. Tapi kau bisa merusak harapannya. Natal masih cukup lama."

"Dia bisa menunggu."

Sam mengangguk sejenak sambil tersenyum menyindir. "Oke, kini aku tahu kau kakak yang baik." Ia lalu kembali dengan pekerjaannya, mengeluarkan beberapa pigura dari sebuah box kardus di dekat kakinya. "Tapi sayangnya sebentar lagi Halloween Carter, mainan labu mungkin lebih cocok diletakkan di sana ketimbang Santa. Angkat semuanya kembali." Tegas Sam.

Kesal karena tak sependapat dengan ayahnya, Carter terdiam sebentar namun kemudian bersedia memungut kembali mainan atau pernak-pernik mungil tersebut, menumpuknya menjadi satu dan meletakkannya ke atas kursi ketika Derek tiba-tiba memasuki ruangan.

"Ibu akan pulang sebentar lagi. Kenapa kalian belum menyelesaikan semuanya?" Tanya anak lelaki bertubuh besar itu sambil melahap chips kentangnya di sofa.

"Kau tak ingin membantuku, Tn. Kentang?" Tanya Sam.

Carter tertawa sedikit. "Kurasa tidak ayah. Dia sedang sibuk menaikkan berat badannya, lihat? Dia sedang menyamakan dirinya dengan kentang."

"Apa kau bilang?!" Derek bangkit dari Sofanya. Memandang tak senang pada Carter.

"Aku bilang kau menyamakan dirimu dengan kentang. Si bulat yang padat. Kenapa? Kau tidak suka?"

"Jangan mengataiku seperti itu, Carter."

"Aku tidak mengataimu, aku hanya berbicara apa adanya. Kalau kau, sedang menyamakan dirimu dengan chips yang sedang kau kunyah itu." Carter tertawa sebelum kembali menata dekorasi rumah baru mereka tersebut.

Sementara Derek yang tak terima dengan candaan adik lelakinya tersebut, segera beranjak menghampiri Carter.

"Hei, rubah kecil, sepertinya kau menantangku." Anak itu mendorong bahu Carter hingga membuat Carter hampir jatuh ke dekat tempat perapian.

Carter yang merasa nyeri memandang sejenak Derek ketika ayahnya tiba-tiba mengatakan sesuatu pada mereka agar tidak ribut.

"Hei-hei, tuan-tuan, bisakah kalian berhenti? Jangan saling mengacau, tolong. Kita semua sedang sibuk ingat?"

"Dia menghinaku ayah."

Sam menoleh pada Carter. "Tolong jaga sikapmu bung. Kau lebih muda, hormati kakakmu."

"Dialah yang menghina kita lebih dulu. Ayah tak melihat sikapnya?" Carter membela diri.

Derek maju selangkah. "Aku tidak melakukan apapun idiot! Kau mau kuhajar?!"

Sam menggenggam lengan Derek. "Tenang! Tenang, tolong tenang anak-anak." Ia menatap tajam pada Derek. "Jangan mencoba menyakiti saudaramu. Itu tidak baik."

"Dia bukan saudaraku. Kau mengadopsinya dari panti asuhan. Aku tahu itu."

"Cukup Derek!" Seru Sam.

Carter mundur selangkah menjauhi mereka. Sementara Sam, segera berpaling pada Carter. Ia tahu benar bocah berambut kemerahan itu takkan suka jika seseorang menyinggung tentang masa lalu kelam tersebut. Dan benar, wajah Carter yang tadi menunjukkan emosi labilnya seperti kebanyakan anak-anak yang sedang berkelahi dengan saudaranya, kini berubah menjadi datar dan dingin.

"Jangan dengarkan omongan Derek nak. Bukankah aku dan ibumu sudah memberitahukan kebenarannya? Lupakan soal panti asuhan itu. Oke?" Sam berjalan mendekati Carter.

Carter mengangguk sejenak namun kemudian segera beranjak dari sana. Pergi menuju pintu depan meninggalkan ayah dan saudara lelakinya.

"Kau mau ke mana Carter?" Seru Sam.

"Mencari udara segar. Maaf kali ini aku tidak bisa membantumu ayah." Jawab Carter sambil menyambar sepedanya yang tergeletak di halaman untuk segera melesat ke jalanan.

*******

Edward Clayton, memutar kembali instrumental itu untuk menghapus kesunyian di rumahnya. Rumah sederhananya yang hanya ia tinggali seorang diri ketika istrinya meninggal tiga tahun silam. Pria tua itu merasakan benar bagaimana kesunyian itu berlangsung tahun demi tahun. Dan seperti biasa, ia hanya menyibukkan diri dengan pekerjaannya untuk mengisi kekosongan tersebut.

Sudah hampir tiga jam ia duduk di kursi kayunya sambil terus membuat sayatan-sayatan kecil di sebuah potongan kayu yang ia simpan beberapa hari terakhir. Beberapa pahatan seni yang membuatnya semakin mencintai aktifitas tersebut sekaligus menjadi hiburan kecil sejak ia pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit daerah.

Dari arah dapur, tiba-tiba tekonya berbunyi. Pria itu bangkit dari kursinya dan mulai melangkah menuju ke sana. Tangan tuanya mematikan kompor tersebut dan kemudian mengangkat teko itu untuk menuangkan air mendidih ke dalam sebuah cangkir yang telah ia isi dengan bubuk kopi.

Edward lalu kembali ke ruang kerjanya sambil membawa cangkir berisi seduhan kopi tersebut melewati ruang tengah. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, angin sore berhembus masuk menerpa kulit keriputnya dari arah jendela. Pria itu pun segera berjalan menghampiri jendela itu untuk menutupnya. Ia tak tahu kenapa ia selalu lupa mengunci rapat jendela itu. Dan saat hendak merapatkan kenopnya, tiba-tiba sesuatu dari jalanan menarik perhatiannya.

Seorang remaja lelaki, dengan sepedanya, sedang melewati jalanan di depan rumahnya. Bocah yang entah ia belum pernah melihatnya di lingkungan itu.

Edward meletakkan cangkirnya ke bagian tepi jendela untuk dapat memperhatikan lebih seksama siapa anak itu. Entahlah, mungkin orang baru di daerah ini. Ia cukup banyak mengenal beberapa orang yang tinggal di blok sekitar rumahnya, tapi untuk anak itu, dia benar-benar tak tahu.

Namun kalau boleh jujur, sepertinya ia adalah anak yang baik. Wajahnya masih begitu polos, kulitnya yang putih kemerahan tak menunjukkan bekas luka atau apapun, sementara dari tatapan sepintasnya, sepertinya dia juga anak yang mudah untuk didekati. Ya, Edward berharap ia tak tinggal terlalu jauh dari rumahnya. Mungkin suatu hari, ia bisa mengundangnya untuk makan malam bersama layaknya, ayah dan anak.

-

NOT PINOCCHIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang