Prolog : Awal Dari Segala Bab

94 14 0
                                    

31 Oktober 2013

Kring kring...

Bel sekolah sudah berbunyi begitu lantang hingga ke setiap penjuru sekolah, dan sekarang sudah sore. Itu artinya bel berbunyi menandakan bahwa pelajaran sudah selesai dan waktunya untuk pulang.

Tak lama bel berbunyi, Ibu Guru yang mengajar di kelasku segera menyelesaikan penjelasannya mengenai materi suhu dan kalor. Ah aku benci fisika! Andai saja dulu Ibu mengizinkanku untuk masuk kelas sosial, mungkin aku tidak akan semenyiksa ini!

"Baik anak-anak, sampai disini pembelajaran kita hari ini. Sebelum saya menutup, apa ada pertanyaan? Atau mungkin yang tidak dipahami?" Duh semoga saja tidak ada yang bertanya. Tolong hari ini aku benar-benar ingin segera pulang!

"Ya silahkan!" teriak Ibu Fanny begitu lantang sembari menunjukan tangannya ke murid yang bertanya. Aku seketika mengikuti tangan Ibu Fanny mengarah kemana. Ternyata itu Bagas. Dasar, dia memang selalu mencari perhatian. Ditambah lagi dia selalu menggangguku.

AH SUDAHLAH AKU KESAL SEKALI HARI INI! YANG AKU INGINKAN YAITU PULANG!

Akhirnya aku bisa keluar dari kelas fisika ini. Setelah waktu pulang ku terlambat 15 menit, karena laki-laki yang sangat baik hati itu.

Dia adalah Bagaskara Hersya. Aku sangat tidak suka dengan orang seperti dia. Yang selalu banyak tingkah, selalu mencari perhatian, menggangguku, dan satu lagi. Dia so pintar, padahal otaknya hanya ada nongkrong dan hura-hura. Aku bisa menjamin itu. Itu sebabnya aku sangat tidak suka padanya. Ingat ya! Sangat tidak suka, camkan itu!

Tiba-tiba ketika aku sedang ingin menutup tasku, aku merasakan pundakku ditepuk oleh seseorang, "Yuk, Kir! Kita pulang!" ajaknya.

Tiba-tiba ketika aku sedang ingin menutup tasku, aku merasakan pundakku ditepuk oleh seseorang, "Yuk, Kir! Kita pulang!" ajaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ternyata itu adalah Reisya, dia adalah teman sebangku ku. Teman paling setia. Bukan karena seberapa lama dia mengenalku, tapi seberapa lama dia tetap tinggal disampingku. Ketika banyak orang pergi meninggalkanku, dia tetap ada disampingku. Aku rasa, dia seperti pasangan hidupku. Ada yang bilang, pasangan hidup bukan hanya mengenai suami atau istri. Tetapi bisa juga mengenai sahabat sehidup semati, katanya.

Aku hanya mengangguk lalu berjalan mengikutinya, menyusuri lorong sekolah yang terasa panjang dan gelap. Mungkin karena langit sore yang begitu mendung. Tak berapa lama, aku dan Reisya sampai menuju pintu masuk utama sekolah kami. Dan... Hujan deras datang begitu saja tidak sopan. Padahal tinggal beberapa langkah lagi kami akan sampai ke halte sekolah. Lebih nyaman menunggu hujan ini reda disana, daripada harus berdiri diam disini.

Dengan cepat aku langsung membuka tasku, mencoba merogoh sebuah benda. Aku berusaha mencarinya melalui tanganku. Namun nihil. Kemana benda itu?! Ketika tidak hujan, payungku selalu aku bawa kemanapun. Selalu ada di dalam tasku. Tapi sekarang? Benda itu hilang entah kemana.

23 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang