#1

12 2 1
                                    


"Mami, aku mau sarapan dong," teriak ku pada Mami.

Ya, Mami yang paling aku sayang dari segalanya. Aku selalu manja dengan Mami dalam hal apapun. Nama ku, Aldira Zara Syabila, kini usia ku genap 17 tahun dan aku adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Di sekolah, aku termasuk siswi berprestasi yaitu dengan sering memenangkan berbagai kompetisi tingkat nasional yang diadakan oleh sekolah.

Aku dipanggil Zara. Di sekolah, aku juga menjadi salah satu kategori siswi tercantik menurut pandangan kaum Adam. Mungkin itu sebab mengapa banyak dari mereka yang terus berusaha mengejar dan menjadikan aku sebagai pasangannya.

Dan kakak ku, Aldira Shalsabila. Usianya 21 tahun dan ia tengah menjalani kuliah di Perguruan Tinggi Negeri disalah satu kampus ternama di Bandung. Aku biasa memanggilnya kak Caca.

Kak Caca dengan rambut hitam panjangnya, kulit putih bersih, bibir pink alami, juga dengan mata bulat dan alis tebalnya menambah kecantikan yang luar biasa.

Namun satu yang tidak aku suka dari kak Caca, perubahan sikap kak Caca yang semula begitu hangat kini menjadi bak frozen. Sangat menutupi kecantikan kak Caca di pandangan orang-orang.

"Zara, lo gausah manja lagi ke mereka bisa ga sih!" ketus kak Caca.

"Lo kenapa si kak? Kok semenjak lo masuk SMA dulu sifatnya jadi berubah 180° kaya gini?"

"Itu bukan urusan lo Zara! Yang jelas lo itu udah gede, manjanya jangan terlalu dibiasain lagi."

"Sibuk bgt dah, Mami aja ga pernah marah lihat Zara manja. Lo kalau mau manja juga ke Mami Papi ya udah manja aja, gausa pake larang-larang segala."

Dina Lusiana Dewi, adalah wanita yang aku kenal dengan sebutan ibu. Dan Fero Pajrian adalah ayah yang aku banggakan sampai saat ini.

Kak Caca mendelik mendengar ocehan ku, ia sedang tidak dalam keadaan yang baik. Aku tahu itu dan aku mengenal sosok kak Caca yang hangat seperti saat sebelum ia duduk di bangku SMA.

Hanya saja yang aku permasalahkan dengan keadaan kak Caca adalah ketika ia melihat aku meminta perhatian lebih dari Mami dan Papi, sifat kak Caca langsung berubah. Penuh amarah dan kebencian yang tersirat jelas di matanya. Sifatnya yang dulu lemah lembut, tidak mudah marah, dan tidak suka mengomeli ku bahkan ia selalu memanjakan aku, kini benar-benar punah.

"Kamu habis sarapan langsung berangkat sekolah sama supir ya, Papi ga bisa antar jemput kamu lagi dan pula kamu sudah SMA, jadi kamu harus mandiri seperti kakak mu," ucap Papi membuka pembicaraan kembali setelah perdebatan kecil aku dan kak Caca di meja makan.

"Basi," jawab kak Caca ketus sontak mengagetkan aku, Mami dan juga Papi.

"Kamu bisa ga sopan sedikit ke orang tua?" jawab Papi dengan suara lantang juga menghentakkan sendok dan garpunya dengan keras.

"Lo ga pantas buat gua kasih sopan santun!"

Lalu kak Caca bangkit dari sofa. Kak Caca memang sedang sarapan, namun tidak ikut nimbrung di meja makan bersama kami. Ia selalu memisahkan diri bahkan makanan yang ia makan selalu ia dapat dari hasil kerja paruh waktunya.

Entah apa yang terjadi di keluarga ini aku tidak tahu.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan kak Caca?" batinku.

Kak Caca pergi meninggalkan perdebatan yang membosankan baginya, ia menarik kasar tas ransel kesayangannya. Tas itu adalah pemberian almh.Oma.

Oma meninggal saat kak Caca hendak menduduki bangku SMA. Kak Caca adalah satu-satunya orang yang paling bersedih saat itu, Mami dan Papi bahkan tidak datang melihat juga mengantar Oma ke pemakaman terakhirnya.

Sejak saat itulah, suasana rumah ini terasa begitu asing. Seperti tidak mengenal satu sama lain. Sudah lama aku bertanya dan mencari tahu apa yang terjadi dengan perubahan sikap kak Caca, namun nihil.

Aku mengejar kak Caca yang keluar dari rumah tanpa membawa kunci sepeda motornya.

"Kak Caca tunggu," teriak ku agar terdengar oleh kak Caca.

Fake HumansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang