#2

12 2 1
                                    

'Setiap perubahan sikap seseorang pasti ada alasan, sebab-akibat, dan faktor pendorong di belakangnya. Termasuk aku.'

                         -Aldira Shalsabila-

"Kak Caca tunggu," teriak ku agar kak Caca mendengarnya.

"Kak, ini kunci sepeda motor kakak ketinggalan." Aku ulurkan tangan kanan ku dengan menggenggam sebuah kunci yang dihiasi dengan boneka panda kesukaan kak Caca.

"Gausa! Gua dijemput."

Hempasan keras tangan kak Caca membuat tangan ku hilang keseimbangan sehingga kunci itu terbuang cukup jauh.

"Kakak kasar banget sama aku. Kenapa sih kak? Kakak lagi ada masalah?" Tanya ku dengan wajah menahan tangis.

"Bukan urusan lo! Urus aja itu orang tua yang lo sayangi," ucap kak Caca yang sedari tadi tidak menoleh pada ku sedikit pun.

"Sejak Oma meninggal, kakak jadi kaya gini. Aku benci kakak."

Dari depan pagar rumah, seseorang membunyikan klakson mobil berkali-kali.

"Suatu saat lo pasti tau alasan gua ga suka liat lo sayang ke mereka," kata kak Caca dengan nada yang sedikit lebih lembut dan berlalu dari hadapan ku.

~

         *Flashback On*

"Maksud bibi apa?" Kak Caca berteriak histeris setelah bertanya kepada seseorang yang ada di balik telepon itu.

"Itu ga mungkin bi! Bibi jangan bercanda dong."

Tuttt... Tuttt...

Dering telepon terputus, histeris kak Caca terdengar semakin nyaring dari pintu kamar ku yang tepat berada di samping kamar kak Caca.

Aku menghampiri kak Caca, aku sangat khawatir terjadi apa-apa dengannya.

"Kak, kenapa?"

"Oma Zara, Oma, hiks... hiks..."

"Oma kenapa kak?" tanya ku ragu.

"Oma meninggal."

Sontak aku terjatuh. Hati aku teramat perih mendengar kabar itu, rasanya raga ku hilang setengah dari tubuh ini. Aku tidak mampu berdiri, aku menyayangi Oma.

Oma sangat dekat dengan kami, dari kecil Oma selalu ikut menjaga kami apalagi saat kedua orang tua ku sedang pergi bekerja.

Kak Caca menghampiri aku dan kemudian memeluk erat tubuh mungil ku. Buliran air mata kak Caca terasa mengalir deras membasahi pundak ku, ia gemetar dan cukup lama menahan posisi ku untuk tidak memberi ruang bergerak sedikitpun.

Ia berusaha menenangkan. Namun yang aku tahu, dialah sesungguhnya orang yang benar-benar harus ditenangkan.

"Kak jangan nangis dong, nanti kalau Mami sama Papi ngelihat anaknya cengeng kaya gini pasti mereka makin sedih," kata ku menenangkan.

"Zara, kamu beresin barang kamu ya, kita pergi ke rumah Oma."

"Kamu bawa baju yang banyak. Mungkin dalam beberapa Minggu ini kita akan tinggal di rumah Oma dulu," perintah kak Caca dengan sesenggukan.

"Tapi kita kan harus sekolah kak. Bukannya kakak juga harus ikut MOS dan ikut seleksi organisasi?"  Tanya ku bingung.

"Udah kamu gausah pikirin itu. Sekarang kamu beresin semuanya, kakak tunggu kamu di mobil."

Bibi inem yang bekerja di rumah kami sedang menangis tersedu-sedu, memperhatikan aku dengan tatapan kosong di bawah tangga.

Telepon genggam milikku berbunyi, secepat kilat aku berlari ke kamar untuk meraihnya dan memastikan siapa orang yang sedang menghubungi ku.

"Halo, ini dengan siapa?"

Di tengah perbincangan itu, aku merapikan pakaian untuk dibawa ke rumah Oma.

"Tadi Mami dengar kabar dari bibi, Oma kamu meninggal ya?"

Suara yang tidak asing ku dengar. Lembut, namun tidak pernah memanggil ku dan kak Caca dengan sebutan sayang, adek, kakak, anak ku, atau sebutan lainnya sebagai penjelas identitas antara Ibu dan Anak yang seperti kebanyakan orang lain lakukan.

"Oh ternyata Mami. Iya, Oma meninggal mi."

"Mami mau ke rumah Oma juga kan? Biar aku sama kak Caca nungguin kalian aja dulu baru kesananya barengan," lanjutku.

"Maaf, Mami dan Papi ga bisa. Kamu pergi berdua aja dengan kakak mu ya. Mami lanjut kerja dulu."

Tuttt... Tuttt...

Mami mematikannya dengan sepihak.

'Ih Mami apaan sih, aku kan belum selesai ngomong. Lagian kenapa Mami ga pernah mau ketemu sama Oma ya? Bukankah Oma itu Ibunya sendiri? Saat meninggal saja pun Mami tidak berniat untuk datang melihatnya?' Batin ku dengan rasa penasaran yang cukup besar.

Dengan kasar aku membuang jauh telepon genggam itu. Menyakitkan jika aku melihatnya.

Kini aku fokus dengan tas ransel besar ku yang sudah terisi dengan beberapa pakaian.

"Zaraaaa, kamu ngapain lama banget? Buruan turun!" Teriakan keras kak Caca dari halaman rumah.

"Eh, iya kak tunggu sebentar."

Dengan sigap aku berlari menuju mobil. Supir yang biasa mengantar kami sudah setia menunggu.

"Maaf lama kak, tadi Mami telpon Zara."

"Ya sudah. Jalan pak, tolong di cepatin lajunya jangan lambat!" Ucap kak Caca tegas.

"Baik Non," balas pak Ucup lembut.

Dua jam kemudian, kami tiba di rumah Oma. Perjalanan yang cukup melelahkan untuk kondisi hati yang sedang patah.

Pukul 12 siang, pemakaman telah selesai dilakukan. Kak Caca diberi sepucuk surat dengan kertas berwarna pink muda oleh seorang wanita paruh baya.

"Neng, ini ibu dikasih amanah buat ngasih surat tulisan dari Oma kalian," kata wanita itu.

"Surat apa ini bu?" Tanya kami.

"Saya tidak tahu neng, yang jelas Oma bilang kamu harus baca sendiri. Si Zara ga boleh tahu isinya apa," jelasnya.

"Loh, kenapa gitu bu? Saya juga cucunya Oma bu," sanggah ku tidak terima dengan ketidakadilan Oma.

"Maaf neng, saya cuma disuruh menyampaikan saja. Soal warisan sudah diatur oleh orang kepercayaan Oma kalian. Jaga diri baik-baik, saya pamit neng.''

Kak Caca menyuruh aku ke kamar.

"Aku kesal dengan Oma, mengapa Oma hanya memberi sepucuk surat untuk kak Caca?"

"Kamu ga boleh gitu, kasihan Oma. Masuk sana!"

Setelah itu aku pergi meninggalkan kak Caca sendirian di ruang tamu. Dan dari kejadian itu, kak Caca menjadi orang yang benar-benar hancur.

Aku tidak mengenalnya. Apa yang salah dengan surat itu?

        *Flashback Off*

~

"Kakak kenapa berubah? Kakak ga mau cerita apapun ke aku, aku kangen sama kakak yang dulu."

Air mata ku mengalir deras memandangi punggung indah kak Caca yang semakin menjauh.

Fake HumansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang