Wanita Baru

15 5 0
                                    

     Perhiasan dunia adalah wanita, penakhluk lelaki pun salah satunya juga wanita. Dalam rumah tangga, wanita ibarat nahkoda yang mengendalikan kapal, tugas utamanya adalah mengurus keluarga dan mendidik anak-anaknya. Bunda telah melupakan tugasnya, terlalu berbangga dengan jabatan dan dunianya, tanpa ia sadari ayah dan aku butuh sosok seorang ibu.

     Kurasa pilihan ayah dengan wanita lain benar, sejak ayah bersama wanita itu hidupnya lebih terurus. Ayah memiliki riwayat sakit jantung dan harus rutin periksa ke dokter, dengan wanita itu ayah terlihat sangat baik keadaannya. Mungkin ayah saat bersama bunda tersiksa, bunda tidak pernah mendengarkan siapapun, yang hanya dipedulikan adalah keinginannya yang selalu benar. Menjadi tulang punggung pengganti ayah mungkin pilihan yang membantu, tapi melupakan peran sebagai ibu juga bukan hal yang baik.

     Hari ini sepulang kerja, aku mendapati ayah dirumah nenek. Ternyata, ayah menungguku sejak sore tadi. Tapi, ada yang membuatku terkejut, wanita itu bersama ayah. Namanya Aisyah, jika dilihat dari namanya sudah pasti yang ada dibenakku adalah wanita shalihah, wanita itu memakai jilbab yang dijulurkan menutupi dada, tipis berdandan, dan ramah tamah. Aku meyakinkan diri, bahwa tante aisyah bisa menjaga ayah sepenuh hati, karena ayah sakit-sakitan dan hidup sederhana, akan banyak wanita yang menolak lagi pula, usia ayah juga tidak muda lagi.

     Tante aisyah memintaku memanggil umi, mereka telah menikah satu bulan lalu. Umi?.. Aku pikir itu cocok dengan tante aisyah yang religius, mau tidak mau aku harus terbiasa. Kini aku punya ibu baru, dan punya dua ibu. Bayang-bayang ibu tiri yang jahat mulai meracuni otakku, aku tidak boleh berprasangka, aku harus yakin dia adalah sosok ibu yang baik.

     Umi aisyah menawarkanku untuk tinggal bersama, tapi tidak mungkin aku meninggalkan nenek dan pekerjaanku yang mulai asik kujalani. Aku juga telah berjanji akan menjadi teman untuk Sean, mana mungkin aku mengingkarinya, sebagai balas budi.

"Alice, maafkan umi yaa," memegang tanganku, dengan mata yang berbinar menandakan itu permintaan maaf yang tulus.

"Untuk apa umi?" balasku, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Untuk umi yang telah hadir di kehidupanmu, dan mungkin menjadi alasan ayahmu meninggalkan bundamu, umi benar-benar minta maaf. Tapi, umi sangat menyayangi ayahmu," lugas umi, kubangan di matanya tak mampu lagi tertahan, umi meneteskan air mata.

"Umi.. Jangan menyesal, mungkin sudah takdir umi, yang bersedia menemani ayah. Aku sudah melupakan itu, dan berharap umi menjaga ayah," pintaku, pada umi.

     Umi memelukku erat pertanda mulai ada ikatan diantara kami. Umi benar, kadang cinta itu buta tak menilai, dan sulit dikendalikan. Perasaan sayang ayah mungkin muncul karena kekaguman terhadap umi, siapa yang tidak luluh dengan wanita shalihah? Kulihat mereka saling menyayangi dan menjaga, tugasku hanya satu mendoakan kebaikan keduanya.

"Sebagian prasangka adalah amarah, dan sebagian fitnah itu prasangka yang belum terbukti"
~Alice Wylee~


     Perihal surat dari pengirim yang mengaku namany Daniel kemarin, kembali membuat isi otakku memberontak, dia kembali mengirim surat. Dan anehnya dia menyelipkan fotoku saat masih SMP, apa mungkin dia temanku? Seingatku teman sekelasku tidak ada yang namanya daniel, benar aku memeriksa album SMP, yang ku temukan temanku yang namanya Dania. Apa mungkin dia dari kelas yang berbeda?

"Hay Alice..
Apa kamu kaget foto yang kuselipkan dalam surat?
Benar kamu pasti bertanya-tanya siapakah aku.
Kamu tidak perlu takut, aku tidak akan menerormu. Maksudku baik mengutarakan perasaan yang telah terpendem sejak lama.

Alice.. Aku pengagummu, kamu wanita yang sangat cantik dan baik hati. Selama empat tahun aku memenjarakan hatiku. Tak mampu memberitahumu, tapi setelah kamu pindah kerumah nenekmu, aku harus memberanikan diri mengutarakannya.

Suatu saat nanti aku akan menemuimu, simpan saja tanyamu. Itu tidak akan lama"

Daniel..

     Sudah kuduga, pengirim surat ini sangat mengenalku. Aku harus meminta pendapat dari Grace, siapa tahu dia bisa membantu.

"Grace aku ingin bicara tentang sesuatu,"menghela nafas.

"Baiklah, ceritakan saja!" sibuk dengan jari-jari tangannya yang tidak mau berhenti memainkan gawai.

"Aku mendapatkan, surat dari seseorang yang tidak kukenal. Sudah dua kali ini," ucapku.

"Haa?! Darisiapa?!" menghentikan permainan jarinya, grace begitu penasaran.

"Akupun tidak tahu orangnya yang mana, hanya saja dia menulis nama Daniel dipojok surat," jawabku dengan tanda tanya besar yang belum bisa kupecahkan.

     Grace memintaku berpikir positif, dan membuang jauh-jauh kekhwatiran, aku takut orang itu akan menerorku.
     Di cafe pun aku tetap memikirkan surat itu, sampai Sean menegurku karena tidak biasanya aku lambat bekerja, yaa karena ada yang menggaanggu pikiranku. Sore itu Sean mengajakku pergi ke danau lagi, padahal pekerjaanku belum selesai, lantas saja teman-teman pegawai cafe pun heran, tidak biasanya Sean si marmut berdasi itu mengajakku keluar. Mereka pasti berpikir aku punya hubungan spesial dengannya.

"Kenapa kamu tidak serius bekerja hari ini bulu babi?" tanya Sean menajamkan pandangannya.

"Tidak apa-apa," jawabku, menutupi apa yang sebenarnya terjadi.

"Ayolah, kamu telah berjanji menjadi temanku bukan? Aku pantas mendengarkan perasaanmu," Sean terus memintaku bercerita.

"Jadi begini sudah dua kali aku mendapatkan surat dari orang yang belum kukenal, dia mengaku sebagai pengagumku," menunduk, aku takut dia akan tertawa.

"Haa?! Kenapa dia jadi pengagummu, dan kenapa dia mengirimmu surat, sialan!" ungkap Sean dengan amarah.

"Kenapa kamu marah,? Ledekku pada Sean hahaa..kupikir dia gelisah.

"Eeee, apa? Aku tidak marah kok!" elak Sean.

"Tidak apa, kamu pasti cemburu, aku tahu kok aku memang cantik hahaa," kubuat Sean agar semakin marah.

"Nggak akan!" mencipratkan air danau, pertanda dia mengajakku bermain air.

     Begitulah Sean, belum lama aku mengenalnya tapi dia sudah mampu berbaur denganku. Dia juga tidak segan meluangkan waktu hanya untuk mendengar ceritaku. Setelah perbincangan yang cukup panjang, aku baru tahu Sean itu dua tahun lebih tua dariku, 21 tahun tepatnya. Tapi wajahnya saja yang terlihat awet muda. Dia sudah lulus kuliah S-1 jurusan Ekonomi, Sean langsung terjun menjadi manager cafe menggantikan pamannya. Sean terlahir dari keluarga Iskandar, yaa keluarga kaya pastinya.

     Tidak banyak orang yang mengenal kisahnya, dan mungkin hanya aku yang tahu bahwa kedua orang tuanya telah tiada. Tapi kenapa Sean ingin melibatkanku dalam kehidupannya?

     Entah kenapa bayang-bayang Lukas mulai hilang dari benakku, tapi kadang aku masih menangisinya di ujung malam, mau dilupakan seperti apapun, nyatanya harus dengan perjuangan. Lukas memang seumuran dengan Sean, sudah kuliah dan berjanji tunangan denganku saat sudah lulus. Saat itu usiaku masih 18 tahun dan baru lulus SMA. Lukas mengajakku satu kampus agar kami tidak merasakan pahitnya disiksa rindu. Setidaknya walau kami berbeda jurusan, tapi masih bisa bertemu kapanpun.

"Whenever you're ready? Can we Surrender?"
~Alice Wylee~
    

Surrender (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang