Tak Teramati

6 4 0
                                    

     Aku denganmu sebelum jauh di titik ini dengan segala kisah yang menguatkan masing-masing, sebelum kita kenal,  mungkin kita telah berjumpa walau hanya saling membelakangi diruang tunggu, berdesak-desakan saat mengantri, atau sekedar jarak tipis yang menahan pertemuan kita.
Kini kita bukan hanya kenal tapi sudah mulai tahu sebuah sisi yang tak teramati yaitu perasaan,  diluar fisik yang begitu menawan maka kita punya perasaan yang tidak bisa terlihat oleh indrawi, namun bisa di ungkapkan melalui gerak-gerik fisik. Aku mungkin suka menunduk jika aku sedih, menatap tajam saat marah, mondar mandir saat merasa cemas, dan banyak lainnya.
Perasaan pulalah yang menepis jarak diantara kita, sepasang kekasih yang berusaha memantaskan diri dan menyempurnakan hati melalui proses "Usaha" menjadi lebih baik. Aku tahu kita sama-sama punya usaha sendiri untuk membahagiakan kekasih, begitu juga denganmu yang memilih jauh dariku agar aku lebih sabar, dan belajar menahan diri. Sebelum aku mengenalmu tidak pernah aku temui kisah yang rumit ini, kuharap tidak berhenti sampai disini jangan sampai aku tumbang dengan rasa takutku, jangan sampai aku lelah sebelum kemenangan ada di genggamanku.

"Sudah lama menunggu?" ucap Sean.

"Hahh!? Astaga kamu hihh kebiasaan deh, jangan ngagetin!"

"Hehee maaf yaa bulu babi, udah lama nunggu yaa?"

"Sudahlah di bandara seluas ini aku sedikit kebingungan mencarimu,"

"Ayo pergi, supirku pasti sudah menunggu," lugas Sean, menarik koper bawaannya.

     Hari ini Sean pulang, dia sedang melalui masa skripsi, Sean butuh ketenangan dan juga inspirasi untuk berpikir. Tak terasa dua tahun dengan susah payah aku dan Sean jalani dengan berbagai rintangan dan pastinya pilu, akhirnya menemui titik puncak. Sebentar lagi kuliah S-2 Sean akan segera selesai, dia juga akan wisuda sungguh aku sangat bahagia, dengan begini jarak yang selama ini kami keluhkan tidak akan lagi meronta-meronta.

     Sean memintaku menjemput dibandara, kupikir kami memang punya segudang rindu yang sama buktinya dia memintaku menjemputnya sudah dari seminggu yang lalu, dan aku sangat antusias menyambut kedatangannya. Setelah dua bulan lalu kami bertemu, ada yang berbeda dari Sean dia sedikit punya kantung mata, pasti karena ulahnya mengerjakan skripsi sampai larut malam, badannya juga sedikit kurus.

    Semenjak aku diamanati mengurus cafe, Semakin hari aku semakin terbiasa dengan profesiku sebagai manager di cafe, dengan kegiatan padat yang aku lakukan aku merasa lebih baik dan punya ambisi untuk menjadi pengusaha. Memang sebelumnya aku sangat kebingungan mengurus cafe, mulai bangaimana mengayomi semua karyawan, menjaga nama baik cafe, dan tentunya inovasi yang harus aku tingkatkan. Semua tidak gampang dan juga perlu ketelatenan, aku sangat bangga pada Sean sudah berhasil merintis cafenya dari nol.

     Setelah sekian lama kami diperjalan dari bandara menuju rumah Sean, sekitar satu jam lebih akhirnya kami sampai. Walau begitu Sean tak melepaskan genggaman erat yang ia kunci di jari-jemariku. Aku sungguh bahagia dia tidak menukar ketulusanku dengan sebuah penghianatan, selama dia di luar negeri tak henti-hentinya dia membuatku semakin percaya pada hatinya. Aku harap apa yang dia katakan benar.

"Sean,"

"Kenapa Alice?" jawab Sean yang tengah asik bersantai di sofa ruang tamu.

"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini? Mau kerja dimana?" tanyaku penasaran, kuharap dia mengerti apa yang aku mau.

"Aku masih binggung, rencananya aku ingin membangun bisnis property, tapi entah kuliahku saja belum selesai,"

"Owh gitu," aku sedikit menunduk bukan itu jawaban tepat yang aku mau.

"Alice ini untukmu," memberikan kertas warna putih dari saku dalam pakaiannya, aku penasaran dan ingin membukanya.

"Apa ini?"

"Etsss,, jangan dibuka dulu yaa, buka saja nanti saat aku tidak ada, sepanjang perjalanan di pesawat aku menulisnya untukmu,"

"Kenapa nanti?", aku sangat penasaran dan dia melarangku membukanya.

"Sudahlah turuti saja, jika kamu membacanya nanti pasti bayang-bayang wajahku akan semakin membara di benakmu, dan pastinya ada moment haru untuk dirimu sendiri,"

"Apasih nggak paham deh," celetukku mengerutkan dahi.

"Buka saja nanti ya,"

"Baiklah," ku kantongi kertas itu disaku celanaku.

"Eh kamu gimana?"

"Apanya yang gimana,"

"Keadaanmu,"

"Baik kok, tapi sedikit pusing ngurus cafe,"

"Ada masalah?"

"Iya salah satu karyawan ada yang mencuri, dan pintarnya dia membobol mesin kasir,"

"Haa, terus gimana?"

"Aku segera menghubungi polisi, tapi dia tidak sadar ada banyak cctv di cafe,"

"Syukurlah, kamu harus hati-hati jangan mudah percaya dengan orang lain, lihat saja karyawan kita yang semula baik malah justru membuat masalah,"

     Begitu, aku dan Sean banyak sekali bercerita tentang apa yang kami alami saat berjauhan. Sering juga kami saling kagum dan bergurau, maklum saja kami jarang bertemu dan perlu waktu banyak untuk menceritakan semuanya sedetail dan semenarik mungkin Tak jarang kami ngobrol sampai larut malam, semuanya terasa menyenangkan jika berdua tidak membosankan sama sekali.

     Aku pulang kerumah sudah hampir tengah malam, Sean mengantarku walau hanya sampai depan pagar. Kertas yang diberikan Sean tadi menarik kembali keingintahuanku, aku harus segera membukanya. Aku tidur berbaring dikasur dan mulai melihat apa isi kertas itu.


S

udah lelah ya?
Apa sudah mulai kesal menungguku?
Sebelum kita melangkah lebih jauh apa tidak sebaiknya kita memantaskan diri?

Aku kagum...begitu kagum pada sosok dirimu
Seorang wanita yang terlahir kuat walau kesakitan selalu menghujam bagai hujan yang semakin deras turun
Aku heran kenapa kamu begitu kuat dan membuat detakku berdebar hebat.

Tulis saja pilumu dengan sebuah pena, jangan takut aku pasti membantu menyelesaikan ceritamu, dan menulis kisah baru yang lebih baik, dengan alur yang begitu indah.

Alice....jangan pudarkan rasamu terhadap ku, tunggu saja sampai aku menyelesaikan apa yang telah aku cita-citakan.

Selamat malam sayang.

   Surat yang ditulis Sean ini membuatku menitikkan air mata. Ternyata dia mengerti dengan apa yang aku inginkan. Aku memeluk erat surat yang dibuat Sean, benar apa yang ia katakan ini adalah moment haru untukku sendiri, aku memang harus menunggu sebentar lagi jangan sampai tenagaku habis sebelum mencapai puncak. Terimakasih Sean, kamu tak hentinya membuat aku bangga, bangga karena memilih orang yang benar.

"Jangan peduli dengan sebuah keegoisan, yang terpenting ikrar dihatimu masih tetap sama"
~Alice Wylee~

    

Surrender (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang