Azan Ashar tepat berkumandang saat aku sampai ke rumah, setelah dua jam lebih berendam diri di lautan biru bersama sahabat-sahabat liarku itu, mengamuklah cacing-cacing yang ada diperutku ini.
“ Sungguh tak tau diri kau orang kampung, sudah sore dan belum juga kau makan. Bisa mati kami yang hidup di perutmu ini. “
Protes sekoloni cacing dari perutku.Karena tak tega mendengar keluhan dari sekoloni cacing di perutku itu. Maka aku langsung hinggap ke meja makan, disantaplah sepiring nasi yang kutumpuk hampir setinggi gunung.
Maklum kawan namanya juga lapar.Setelah makan, aku pergi ke teras rumah. Dan kudapati ayahku sedang duduk di kursi rotan sembari ditemani secangkir kopi hitam tanpa gula.
“ Met, duduk sini.”
Ayah mengajakku duduk di samping satu kursi rotan lagi yang ada disampingnya.
“ Cuaca sepertinya bagus hari ini, air laut juga tenang. Ikutlah melaut dengan ayah nanti malam. Besok juga hari minggu kau pun tak sekolah kan ?”
“ iya Yah, aku akan ikut dengan ayah nanti malam.”
“Baguslah kalau begitu, akan kau temui nanti bagaimana indahnya tengah laut di waktu tengah malam nak."
“ Iya Yah. Oh ia ibu dimana...?”
“ Ibumu baru saja keliling.”
Ibuku adalah seorang pedagang roti keliling, yang selalu dipikul dagangannya itu di atas kepala sembari di alasi kain agar tak sakit kepalanya itu.
Hari telah petang, warna jingga telah terbentang di seantero angkasa senja. Ayah dan aku telah bersiap-siap untuk pergi melaut. Dipikulnya sebuah jaring di bahunya yang kekar itu. Sedang aku hanya menenteng dua pelita di tangan kanan dan kiriku ini.Tibalah kami di tepi pantai, tempat Ayah menyandarkan perahu kecilnya itu.
Sembari ia mengatur posisi yang pas untuk meletakkan jaring dan pelita di perahu. Aku menggerakkan bola mataku, menatap keadaan sekitar yang sudah mulai gelap. Ombak masih menggulung-gulung, datang dan berganti seperti tak pernah lelah ia mencium bibir pantai.
Di atasku daun-daun kelapa menaungi pesisir pantai, berayun-ayun di tiup angin malam. Warna daun kelapa itu sudah pudar ditutup bayang-bayang malam.
“Met..!!”.
Ayah memanggilku membantunya mendorong perahu dari bibir pantai ke air. Tak cukup berat kawan perahu yang sedang kudorong bersama ayahku ini. Perahu ini hanyalah perahu sampan kecil dengan sebuah tenda yang terbuat dari terpal yang tepat berada di tengah perahu untuk tempat berlindung nanti bila terjebak hujan di tengah laut.
Di samping kiri kanan perahu terdapat dua buah cadik yang terhubung dengan badan perahu. Cadik-cadik ini berfungsi sebagai penyeimbang kapal agar tak mudah terbalik jika ombak laut sedang tak bersahabat.
Perahu di dayung ayah sendiri meninggalkan bibir pantai itu, perlahan demi perlahan tangannya yang kekar itu mendayung dari sisi satu ke sisi lainnya, dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri.
Sedang aku hanya menatapnya dengan mata menyala-nyala sembari terkagum menatap lelaki kekar itu yang biasanya aku panggil Ayah.
Perahu telah meninggalkan bibir pantai sangat jauh. Dari sini dapat kulihat luasnya angkasa malam yang bertaburan bintang-bintang putih nan berkelap-kelip.
Lautan menyala-nyala memantulkan cahaya bulan yang bersinar sangat terang malam ini. Dan tepat dari barat tempat aku dan ayahku beranjak tadi dari situ, telah hilang ditelan malam.
Tak mampu sekali pun aku menafsirkan mana daratan dan mana lautan dari sini. Semuanya tertutup hitam dari bayang-bayang malam.
“Ayah dari mana kau tau jalan pulang..?, jika yang kita lihat saat ini hanyalah gelap dan Sebuah bulan atas sana. "
Aku terpaksa bertanya pada ayahku, sebab tak mampu laki aku mencari jawabannya sendiri.
“ Lihat met.”
Ayah mengajakku melihat ke arah langit sambil ia mengancungkan jarinya dan menunjuk pada sebuah bintang yang cahayanya menyala sangat terang melampaui bintang-bintang yang ada di sekitarnya.
“ Bintang itulah jalan pulang ayah, bukan cuman ayah tapi untuk semua nelayan dari kampung kita, bintang itulah jalan pulangnya.”
“ kenapa bintang itu ?, kan banyak bintang di langit”.
Tanyaku dengan polos.“ Bintang itu tidak dipilih Ayah dan nelayan lainnya di kampung kita dengan cara sesuka hati atau karena cahayanya yang paling terang, tetapi bintang itu adalah bintang yang tepat berada di atas daratan tempat kita tinggal. Jadi ke bagian laut mana pun kita pergi cukup bintang itulah jalan pulang kita met.”
Mataku menyala-nyala karena terkagum lagi dengan perkataan ayahku barusan. Dari mana ia tau ilmu seperti itu padahal ia tak pernah mengenyam pendidikan sekalipun.
“ Bukan hanya itu Met. “
Ayah melanjutkan perkataannya, dan entah mengapa hatiku sangat tenang jika mendengar suara serat itu berbicara.
“ Ada satu hal yang harus kau ingat. Kemanapun kau menginjakkan kaki suatu hari nanti. Jangan lupa kau menjenguk laut. Sebab dia lah yang menghidupi dirimu, menghidupi ayahmu, menghidupi ibumu, dan menghidupi seluruh manusia yang ada di kampung pesisir itu. Dan bahkan laut juga menghidupi seluruh manusia di negri ini. Laut tak bisa mati nak, ingat itu. Dan laut itu asin tapi mampu membuatmu tersenyum manis melihatnya. Sekali lagi ingatlah nak. Kemanapun kau melangkah jangan lupa kau menjenguk laut. Sebab ayahmu hidup di atas itu nak.”
Perkataan ayah itu membuatku terdiam tak mampu berkata-kata sedikit-pun. Dan mulai-lah aku menatap sekitar yang semuanya hanya laut yang tak lagi berwarna biru seperti yang kulihat tadi siang. Mungkinkah laut sedang tidur...?
KAMU SEDANG MEMBACA
Naeira
RomanceRindu lahir karena jarak, tapi kenapa banyak cinta karam sebab itu. . . . Alur cerita dari buku ini adalah maju mundur, jadi terus ikuti chapter terbarunya biar paham.