SURAT (PERTAMA) DARI JOGJA

22 5 2
                                    

budayakan vote setelah membaca

Dua bulan telah berlalu setelah aku menginjakkan kaki kembali untuk pulang ke rumah.

April berganti Mei, Mei berganti Juni. Dan kini aku sedang duduk termenung di kursi rotan yang ada di depan rumahku menatap rintik-rintik air yang jatuh membuka pintu musim hujan.

Tanah telah basah, dan rumput-rumput kuda di depan rumahku telah lembap di guyur hujan di waktu subuh tadi.

Anak-anak kecil tampak sangat riang menikmati rintik hujan itu, sungguh tak ada beban kawan di wajah mereka. Aku teringat ketika dulu aku masih seumur mereka dimana Kata cinta masih menjadi kata yang sangat misteri dan ajaib yang keluar dari mulut Abong sahabatku. Tak ada satu pun dari kami yang mengerti kata itu, termasuk aku.

Namun kini semuanya sangat bertolak belakang dengan kisah kecilku itu. Aku telah menjadi korban dari kata cinta itu. Tau kah kau kawan...?. Aku sudah dan akan terus disiksa oleh cinta. Cinta menyiksaku setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu, dan selama dua bulan ini ketika aku sudah tak lagi melihat wajah wanita berparas Jogja itu.

Setiap tidurku tak pernah nyenyak, setiap makanku tak pernah nikmat, dan kadang shalatku tak khusyuk. Bukan main betul gadis itu, bahkan iblis pun rela menjelma wajahnya untuk menggodaku dalam Shalat.

Oleh sebab itu, aku berniat menanyakan perihal yang aku rasakan ini, pada orang yang aku anggap sangat ahli dalam soal cinta ini. Siapa lagi kawan, kalau bukan si Gitar madu.

Begitulah julukannya, tapi asal kau tau orang itu adalah Abong. Lelaki itu lihai sekali merayu wanita mana pun di kampung pesisir ini dengan petikan gitarnya itu. Siapa saja selalu digodanya. Mulai dari yang sudah bersuami, anak muda, bahkan janda anak tujuh pun yang berbadan seperti pegulat itu tak luput dari rayuannya.

Tapi semua itu hanya Ulah isengnya, karena hati Abong hanya terpikat pada seorang wanita kampung sebelah yang jaraknya hampir satu kilometer dari kampung kami.

Wanita itu selalu dipuja Abong, bahkan ia selalu mengabadikan rasa cintanya itu dalam sebuah lagu yang ia buat khusus untuk wanita itu. Namun sayang sudah 1001 cara dan 1001 lagu yang telah dilantunkan Abong demi memikat hati wanita itu, semuanya gagal total.

Si Gitar madu, Tak mampu memikat hati wanita yang ia idam-idamkan. Tapi sungguh mengherankan, orang-orang di kampung pesisir ini sering sekali datang ke dia untuk meminta petunjuk tentang bagaimana cara mencintai yang baik.

Tapi yang lebih mengherankan adalah, sebagian besar yang datang mencari petunjuk di Abong adalah Duda-duda yang sudah berusia paruh baya. Aku pun heran melihatnya. Tapi tak apalah kawan biarlah hari ini aku menjadi bagian dari orang-orang bodoh itu, demi mencari jawaban tentang apa yang kurasakan ini.

,,

Hari telah sore, dan hujan tampaknya sudah lelah menghantam bumi. Aku langsung pergi untuk menemui Abong di rumahnya. Rumah Abong adalah rumah yang paling dekat dengan bibir pantai dibandingkan dengan setiap rumah yang ada di kampung pesisir ini.

Dalam perjalanan dapat kulihat awan di atas sana, masih tampak berwarna abu-abu, tampaknya tak ada senja hari ini.

Aku hampir sampai ke rumah Abong, dari tempatku berjalan sekarang ini sudah kelihatan rumahnya. Dan lelaki itu sedang duduk di depan rumahnya sembari memetik gitar madunya itu.

NaeiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang