EINS

12 2 0
                                    

Vienna, Austria enam tahun silam ...

Di hari itu, hujan rintik-rintik tengah membasahi jalanan lengang kota Vienna di musim gugur. Samudra melewati bangunan apartemen cukup bersar sepulang sekolah. Tatap matanya mengarah pada salah satu jendela di sana. Ia melihat seorang gadis kecil yang juga menatapnya penuh penasaran, yang selalu berdiri di depan jendela setiap pagi dan sore – ketika Samudra melintasi apartemen itu.

Samudra mencoba menyapa gadis itu, melalui lambaian tangannya dari bawah. Dan gadis yang ada di sana terperanjat ... buru-buru menutup gorden jendela seolah malu atau takut disapa orang asing yang tak pernah dikenalinya. Samudra tercenung. Adakah yang salah dengan yang dilakukannya tadi? Mungkin saja. Walaupun sebenarnya ia hanya ingin mengenal gadis kecil itu saja, tak lebih. Lantas Samudra melangkah gontai meninggalkan bangunan apartemen itu.

"Hei! tunggu!"

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Saat terdengar suara wanita muda dalam bahasa Jerman menyapanya.

"Apakah kau baru saja menyapa putriku?" tanya wanita itu, yang kemudian disambut oleh anggukan kepala Samudra.

"Maaf, saya terlalu lancang kepada putrimu."

"Tidak apa-apa."

"Aku senang mendengar hal ini, Nak." Ujarnya. "Nanti malam kami akan mengadakan makan malam kecil-kecilan. Bila tak keberatan, aku dan putriku sangat mengharapkan kau bisa hadir di tengah-tengah kami."

Samudra nyaris membelalakkan matanya. Antara percaya atau tidak, mendengar undangan makan malam yang baru ia dapatkan usai tak lama menginjakkan kakinya di tanah Austria.

"Saya akan usahakan datang. Ich danke inhen."

Wanita itu kemudian menguraikan senyum kepada Samudra sebelum akhirnya dia berkata, "Auf Wiedersehen." Ia masuk ke dalam bangunan apartemen itu lagi, meninggalkan Samudra yang masih berdiri di sana dengan raut wajah tercenung.

***

"Siapa namamu?"

Tanya gadis kecil dengan bintik-bintik merah yang menghiasi di sekitar kedua belah pipi dan hidungnya. Sekilas luka ruam itu terlihat membentuk kupu-kupu. Itu adalah pemandangan yang tidak biasa bagi seorang anak laki-laki normal seperti Sam.

"Samudra Adithama. Orang-orang selalu memanggilku Sam." Ucap anak lelaki itu. Sesekali tatap mata lebarnya terus terpaku pada bintik ruam pada wajah Wilma.

"Dan kau?"

"Wilma Krüsser. Aku senang bertemu denganmu, Sam." Sepintas Wilma memulas senyum, tak peduli dengan sesuatu aneh yang menutupi wajah manisnya.

Sementara itu, Samudra juga melakukan hal serupa. Sebisa mungkin ia berusaha tidak menatap lekat-lekat dengan pandangan aneh pada wajah Wilma. Sebab itu hanya akan membuat Wilma merasa tidak nyaman. Tapi di sisi lain, Samudra ingin tahu apa yang terjadi pada seorang gadis dengan bintik merah yang menghiasi wajahnya.

"Sam?"

Frauen Erika memanggilnya dengan sentuhan lembut yang mendarat di bahu mungil Samudra. "Bisakah aku berbicara sebentar denganmu?"

Tak ada kata-kata yang terucap, selain anggukan kepala Samudra. Anak lelaki itu kemudian mengikuti Frauen Erika ke ruang lain, meninggalkan Wilma yang masih berada di sofa bersama satu wanita lain dengan pakaian ala perawatnya.

"Kau pasti ingin tahu sesuatu yang ada di wajah Wilma, bukan?"

Satu pertanyaan yang keluar dari bibir Frauen Erika, lagi-lagi dijawab dengan anggukan kepala pelan Samudra.

"Kau yakin, Sam? Kurasa ini akan sulit kau terima kenyataannya."

"Tidak apa-apa, Frauen. Katakan saja apa yang harus kuketahui dari Wilma, jika itu lebih baik untuknya." Akhirnya Sam berucap, melalui rentetan nada yang membuat wanita di hadapannya tertegun.

Bagaimana mungkin seorang anak berusia delapan tahun dapat mengatakan sesuatu hal sebijak itu kepadanya? Frauen Erika menatap lekat-lekat wajah Sam. Menyelami dua intan gelapnya yang tersirat keluguan dan kepolosan seorang bocah.

Sembari duduk berhadapan, wanita itu mulai berbicara.

"Kau tahu? ada sebuah penyakit dalam tubuh Wilma yang tak dapat disembuhkan."

"Apa itu?"

"Lupus." Ucap Frauen Erika kali ini dengan nada lirih. Wanita itu kemudian melanjutkan, "Penyakit itu sudah ada sejak usia balitanya. Kami sempat berusaha menyingkirkannya. Dan itu berhasil. Wilma dapat menjalani kehidupannya jauh lebih baik seperti anak-anak kebanyakan."

"Namun saat ia baru saja merasakan indahnya masa sekolah, penyakit itu kembali datang dan menyerang bagian tubuhnya seperti yang kau lihat barusan."

"Apakah itu jenis penyakit sama sebagaimana yang pernah ia dapatkan dulu?"

Frauen Erika ganti menggeleng pelan, sesekali berusaha menahan sebulir air mata yang hendak menderai di pipinya.

"Tidak." jawabnya. "Dokter mengatakan jenis penyakit itu berbeda dan jauh berbahaya dibandingkan sebelumnya."

"Itu artinya?"

"Artinya butuh usaha yang cukup keras yang harus kulakukan demi kehidupan Wilma di masa depan, Sam. Penyakit itu bukan hanya meyerang tubuh mungil dan ringkihnya saja. Tapi ... perlahan merenggut wajah ceria dan semangatnya."

"Oh Tuhan," lirih Frauen Erika, "Seharusnya aku tidak mengatakan hal ini kepada anak sekecil dirimu. Kuyakin ini sangat rumit dan ...."

"Aku berusaha memahami situasi itu, Frauen. Jangan khawatir,"

Frauen Erika bergeming tanpa nada. Lantas tangannya meraih wajah bundar nan menggemaskan dari seorang bocah bernama Sam. Ia membelainya, sebagaimana yang pernah dilakukannya kepada Wilma.

"Kau ... terlihat begitu dewasa dengan usia yang semuda ini, Sam. Sungguh, aku baru melihat seorang anak seperti dirimu seumur hidupku."

"Bolehkah kupeluk kau, Sam?" tanya Frauen Erika yang kemudian masih ditanggapi oleh anggukan kepala Samudra.

Wanita itu benar-benar memberikan pelukan eratnya. Merengkuh tubuh mungil Sam yang sedikit gempal. Bagi wanita itu, yang dia punyai di dunia ini hanyalah Wilma seorang. Tak ada seseorang yang dapat ia ajak berbagi perasaannya tentang Wilma melainkan hanya kepada Samudra – anak laki-laki imigran yang baru saja ditemuinya.

Sorot mata lugu dan polos Sam rupanya menyimpan sesuatu yang membuat wanita itu terkesan. Hal yang belum tentu ada pada seorang anak usia delapan tahun. Perasaan simpati dan empati dalam diri Samudra benar-benar telah menancap sempurna, melalui untaian kata yang terucap.

Sementara Sam diam membisu. Merasakan pelukan dari seorang wanita asing yang baru saja mencurahkan isi hatinya kepada dia seorang. Dia mengalihkan tatap mata ke arah lain, dimana Wilma juga tengah memandang tak mengerti apa yang baru saja dibicarakan mereka berdua. Sam mengulas senyum manis, seakan ia berkata kepada Wilma.

"Alles ist gut."


~~ TBC ~~

================================================

Note :

Ich danke inhen : Terima kasih (formal)

Auf Wiedersehen : Sampai Jumpa

Frauen : Nyonya / Wanita dewasa yang sudah menikah

Lupus : Penyakit autoimun ( imun/antibodi terlalu berlebihan, sehingga menyerang sel-sel tubuh sehat lain yang dianggap virus/bakteri )

Alles Ist Gut : Semua baik-baik saja 

Ich Liebe Dich [ COMPLETED! ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang