ZWEI

11 1 0
                                    

Suara pintu diketuk seseorang. Frauen Erika bergegas membuka daun pintu itu, hingga terlihat Samudra berdiri di hadapannya dengan sebuah payung hitam.

"Guten Morgen, Frauen."

Sam tampak menyapa dengan raut wajah cerah – secerah mentari di musim panas saat ini. sementara wanita yang ada dihadapannya juga membalas sapaan itu seraya membungkukkan tubuh jangkungnya kepada Samudra.

"Apakah kau tidak akan kemana-mana hari ini? um.. maksudku kau dan Wilma tidak pergi keluar?" tanya Sam.

"Tidak, Nak. Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Aku ingin mengajak Wilma berjalan-jalan di sekitar pusat kota Vienna. Bolehkah?"

Frauen Erika seketika hanya mengeryitkan dahi. Sebab tahu di akhir pekan ini mentari terlihat bersinar sangat cerah. Itu memang waktu yang bagus bagi sebagian orang menikmati musim panas di luar ruangan. Tapi tidak untuk Wilma. Paparan cahaya matahari hanya akan semakin memperparah pernyakit lupusnya.

"Jangan khawatir, Frauen. Aku janji akan menjaga Wilma baik-baik dan cahaya mentari itu tak akan menyakitinya."

Frauen Erika terlihat memangut dalam diam. Ia kembali memandangi payung yang dibawa oleh Samudra. Dua sorot mata birunya beralih pada Wilma yang sudah berdiri di dekatnya.

Sembari tersenyum, Frauen Erika pun berkata. "Aku percaya denganmu, Sam. Bawalah Wilma ke tempat yang ingin dilihatnya." Lantas Frauen Erika melihat senyum manis Wilma merekah, diantara ruam kupu-kupu – Malar Rash yang menghiasi dua sisi pipinya.

Jadilah pada hari itu, Sam mengajak Wilma berjalan-jalan menikmati keindahan kota Vienna. Sepasang bocah kecil itu berjalan di sepanjang trotoar lenggang. Beberapa orang melintas, menatap janggal pada Wilma. Tentu saja sebab kehadiran ruam kupu-kupu di menghiasi kulit wajah, dan juga pakaian serba tertutup yang melingkupi hampir seluruh tubuh mungilnya.

"Jangan hiraukan tatapan mereka, Wilma." Bisik Samudra.

"Apakah wajahku jelek dengan ruam ini, Sam?" Wilma berhenti. Menatap dalam-dalam wajahnya melalui pantulan cermin salah satu toko yang sedang tutup di akhir pekan.

Sementara Samudra tertawa lirih. "Kau cantik, Wilma. Percayalah. Mereka menatapmu bukan karena kau aneh atau jelek, tapi kau unik dan berbeda. Kupikir mereka menyukaimu. Itulah mengapa mereka menatapmu seperti tadi."

Wilma terdiam cukup lama. Baru kali ini seorang anak laki-laki yang dia temui mengatakan dia cantik di hadapannya.

"Ayo Wilma, kita lanjutkan perjalanan ini. Apakah kau sudah lelah?"

Wilma hanya menggeleng sebagai respon pertanyaan Samudra. Dan pada akhirnya anak lelaki itu mengenggam erat tangannya sembari berjalan beriringan. Meski payung yang dibawa cukup besar, tetap saja Sam tak ingin lengah menjaga Wilma. Tak ingin gadis kecil itu terpapar cahaya mentari yang cukup membuat gerah tubuh yang terbalut kemeja flanel tipisnya.

"Hei, kau!"

Langkah sepasang bocah itu sontak terhenti, ketika beberapa orang anak laki-laki mendatangi mereka. Samudra menghela napas sejenak, tahu diri ia harus berhadapan dengan siapa kali ini.

"Siapa dia, Sam?" tanya Wilma.

Ia merasakan gadis kecil itu mencengkram kuat-kuat lengan Samudra dengan perasaan khawatir yang teramat sangat. Seumur hidupnya, baru kali ini bertemu anak-anak yang konon katanya suka melakukan perundungan dengan anak lain yang lebih kecil atau lemah – seperti Samudra.

"Apakah mereka para penganggumu?"

"Bukan. Dia teman-temanku," jawab Samudra berusaha bersikap tenang.

"Wow! Rupanya gadis aneh dan jelek ini ternyata pacarmu ya?" salah satu anak itu mulai tertawa, yang diikuti oleh gelak tanda mengejek dari anak-anak lainnya.

"Jangan ganggu aku, Bastien."

Mendengar ucapan Samudra, anak yang bernama Bastien itu semakin mendekat. Seakan dengan tangannya, ingin menarik kerah baju Samudra. Dan ia benar-benar melakukannya.

"Lepaskan dia!" teriak Wilma menengahi Sam dan Bastien. Tapi justru anak itu mendorong tubuh ringkihnya sampai jatuh terduduk di badan trotoar.

"Wilma!!"

Bastien kembali menarik kemeja Samudra, seolah tak membiarkan lepas dari tangannya. "Tak ada hari tanpa ada keinginan untuk menganggumu, kotoran!" anak itu juga merampas payung Samudra.

"Kembalikan payungku!"

"Oh ya? kembalikan?! Sebelum kukembalikan benda sialan ini, lihat saja apa yang sedang terjadi anak aneh itu."

Bugh!!

Tubuh Samudra terhuyung, ketika Bastien mendorongnya cukup kuat. Mereka langsung berlari, kabur membawa payung milik Samudra seraya melontarkan ejekan yang cukup menyakitkan.

"Wilma!" Sam langsung bergegas menghampiri Wilma, dan membawa gadis kecil ke sebuah tempat yang jauh dari sinar matahari. Meski telah berteduh, Wilma masih menangis, merasakah perih sebab kulitnya melepuh.

"Wilma," Sam mencoba menenangkan Wilma, agar gadis itu tak merasakan kesakitan yang kian menyiksa. "Maafkan aku. Baiklah. Kita pulang sekarang, bagaimana?"

Wilma mengangguk pelan. Sesekali dengan butir air mata yang masih terlihat berderaian keluar membasahi pipinya, sehingga ruam kupu-kupu itu tampak memerah. Berbaur oleh rona merah lain yang menghiasi hampir seluruh wajahnya.

Tak ada pilihan lain. Tanpa kehadiran payung itu, Samudra tak mungkin membawa Wilma ke tempat yang lebih jauh. Bahkan anak lelaki itu juga tak menyangka disaat seperti ini ia harus bertemu dengan Bastien – yang pada akhirnya telah mengacaukan rencana akhir pekannya bersama Wilma.


~~TBC ~~

=======================================================

Notes :

Guten Morgen : Selamat pagi

Ich Liebe Dich [ COMPLETED! ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang