PROLOG

39.2K 2.2K 186
                                    

Kafe begitu riuh dengan teriakan tidak terima ketika sang penyanyi berpamitan.

Senyum sesal menghiasi wajah vokalis berbadan tambun namun bersuara emas itu. Seakan berat meninggalkan penggemarnya, sepasang bola mata itu mulai berkaca. Dia tidak punya pilihan lain. Sebab esok hari, dirinya harus merantau ke kota sebelah demi pekerjaan baru.

Namun keriuhan itu tetap tidak bisa menembus selubung dingin yang kini tengah membalut jiwa dan raga Abel.

"Kedua kalinya dan kamu gagal lagi. Jadi sebenernya kamu belajar dari kesalahan apa nggak?"

"Aku belajar, kok. Semua soal latihan yang kamu kasih juga, aku udah pelajari semua." Abel berusaha membela diri.

Mata gelap Arvin menatapnya dengan tajam. "Kamu nggak serius, kan? Kamu pasti sibuk sama desain-desainmu itu."

Abel menggeleng. Kakinya yang saling bertumpu bergerak-gerak gelisah.

"Nggak. Aku udah berhenti terima proyek buat fokus sama ujian," jawab Abel, lalu membasahi bibir yang terasa kering.

Arvin menghela napas panjang, lalu menutup laptop yang ada di hadapannya. Lelaki itu masih memakai kemeja kerjanya. Kemeja putih pemberian Abel itu tampak sempurna membalut pundak gagah milik Arvin. Melihat Arvin yang kecewa, Abel menunduk dan menyesap minumannya sendiri.

Dua kali, Bel, dua kali.

Sudah sejak tadi malam Abel berkubang dalam rasa kecewa pada diri sendiri. Padahal, Abel sudah belajar seperti instruksi Arvin, sudah melimpahkan proyek yang tidak sempat diselesaikannya pada Sharga-walaupun dia tahu itu sama sekali tidak profesional-, demi fokus pada ujian. Tapi hasilnya masih tetap mengecewakan.

"Gimana kalau kamu buang semua program desainmu itu?"

Pertanyaan Arvin membuat Abel mengangkat wajah. Ia menatap Arvin tidak percaya.

"Kenapa—itu nggak ada sangkut pautnya." Abel memohon pada tatapan menghunjam Arvin.

"Aku nggak percaya kalau kamu beneran fokus, Bel. Siapa tahu kamu curi-curi waktu," ucap Arvin dingin.

Abel menggeleng panik. "Nggak! Aku beneran fokus belajar—jangan, Arvin. Kamu tahu aku nabung lama buat beli software ori. Kamu nggak bisa seenaknya minta aku buang—"

"Abel, aku kenal kamu. Satu-satunya hal yang akan kamu prioritaskan selain kita adalah desainmu."

Abel menggigit bibirnya kala tak mampu membalas kalimat Arvin. Dia benar-benar berhenti, sungguh. Dia rela kehilangan puluhan proyek demi mengejar ujian ini. Abel sadar jika dirinya bukanlah siswa cerdas yang bisa memahami materi dengan mudah. Di masa sekolahnya, Abel bahkan menyerah untuk memahami suatu materi hingga menyerahkannya pada gelindingan pensil yang akan dia anggap sebagai petunjuk Tuhan. Maka ketika Arvin meminta Abel untuk fokus pada ujian CPNS, Abel akan menyingkirkan seluruh hal agar bisa mengorek secuil dua cuil materi usang yang telah memfosil di dalam tempurung kepalanya.

Arvin kembali menghela napas panjang, lalu menyandarkan diri di punggung kursi. Wajahnya terlihat lelah, dan matanya menatap kecewa pada Abel.

Abel menunduk sekali lagi, seraya berusaha mengatur napas kali ini. Dadanya mulai terasa sesak, dan dia akan sulit bernapas jika tidak segera menenangkan diri.

"Maaf," ucap Abel pada akhirnya. Abel tidak ingin kecanggungan ini berlalu hingga berhari-hari. Yang ada, Abel akan tersiksa karena Arvin akan benar-benar mendiamkannya. "Arvin, sorry."

Arvin menyugar rambutnya. "Dimakan. Keburu dingin.

Abel buru-buru meraih sendoknya. Namun gerakannya terhenti kala melihat Arvin justru meraih tas dan berdiri.

"Mau kemana?"

"Balik." Arvin menjawab singkat. "Aku baru nggak mood makan. Jangan khawatir, udah aku bayar semuanya."

"Arvin, udah berapa kali aku bilang, jangan pergi kalau ada masalah," bisik Abel gelisah.

Arvin yang sudah berbalik, kini kembali menghadap Abel dengan tatapan tajam.

"Dan udah berapa kali aku bilang kalau kamu harus fokus untuk ujian kemarin, Abel. Ini bukan hal remeh-temeh seperti proyek gambarmu! Ini menyangkut kita! Bisa nggak sih kamu kasih keseriusan kamu di situ?"

Remeh temeh, ya?

Wajah penuh emosi milik Arvin membuat Abel terdiam. Sesuatu yang panas mulai menguasai wajah Abel. Sebagian dari dirinya menyesal sudah menyulut emosi Arvin di tempat ramai ini. Hanya saja, dia memang tidak suka ketika Arvin pergi dengan memelihara rasa marah.

"Memangnya kenapa kalau aku tetep fokus di kerjaanku yang sekarang?" ucap Abel putus asa. "Apa yang salah—"

"Mulai lagi," potong Arvin dingin. "Kenapa tanya lagi? Kamu nggak pernah merhatiin kalau aku ngomong?"

Mulut Abel langsung terkunci. Ia menggigit bibir kala matanya terasa perih.

"Sudah. Kamu terusin makannya. Aku balik dulu."

Abel mendesah lirih kala Arvin benar-benar menghilang dari pandangan. Ia segera duduk, sadar sekali jika dirinya telah menjadi perhatian banyak orang. Abel benar-benar tidak suka jika Arvin emosi di depan umum. Siapapun yang memulai, pada akhirnya, Abel yang akan ditinggal sendiri untuk merasa malu seperti ini.

Ah...

Rasa yang tertinggal setiap bertengkar dengan Arvin sungguh membuatnya tidak nyaman. Abel berkali-kali mengusap dadanya, berharap sesak itu bisa pergi sebentar saja.

Tapi, katanya jodoh harus menerima kekurangan masing-masing, 'kan? Jika selama ini Arvin bisa bersabar dengannya, mengapa Abel tidak bisa melakukan hal yang sama?

*TBC*

Haii, selamat pagi. Selamat datang di Colour Palette. Rencananya, CP akan post setiap Senin dan Jumat. Jadi, mari kembali bertemu di hari Jumat ❤️❤️❤️



Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang