Aku mempercepat irama langkahku menuju perpustakaan. Aku telah di selimuti oleh pakaian seragam sekolah.
Selasa, 15 November. Hari dimana pengumuman itu berlangsung. Aku mengisi daftar pengunjung dan langsung memasuki perpustakaan. Aku menyalakan komputer yang sekarang berada di hadapanku. Aku melihat sejenak di sekelilingku. Aku tidak ingin ada yang melihatku menggunakan laptop ini bukan untuk keperluan sekolah, karena aku tak ingin mereka mengiraku menyalahkan fasilitas sekolah.
Mereka disini? Mataku menangkap sesuatu yang tak ingin aku lihat. Hanif dan Deisy. Mungkin mereka sedang belajar bersama. Bukankah mereka sering belajar bersama?
Aku segera mengalihkan pandanganku pada layar laptop ketika aku menyadari Hanif telah melihatku. Aku ingin cepat – cepat pergi dari sini. Aku melihat tanganku gemetar, entah kenapa akhir – akhir ini aku sering seperti ini.
“Moca” Aku mendengar ada seseorang yang menyapaku. Aku melihatnya dan tersenyum. Lalu aku segera mematikan komputer tanpa menunggunya benar – benar mati dan dan pergi dari tempat itu.
Aku memakai sepatuku dan berjalan cepat menuju taman atap. Aku terus berpikir tentang diriku sendiri.
Ada apa sebenarnya dengan diriku? Apa salahnya jika mereka bersama? Apa salahnya jika mereka berdua di perpustakaan? Bukankah itu lebih baik? Mereka bisa lebih menyatu dan harmonis. Untuk apa aku seperti ini? Memiliki perasaan yang sudah pasti tak terbalaskan. Iya kan?
Air mataku seketika meleleh. Aku menjadi sering emosional sejak hari itu. Aku tidak bisa mengontrol emosiku sendiri. Suka menangis tanpa alasan, iya seperti hari ini. Aku yakin aku menangis bukan karena Hanif. Aku yakin. Aku menghapus air mataku dan tersenyum getir.
∞∞∞
Aku tiba dirumah terlebih dahulu. Aku segera naik ke kamar, dan menyalakan laptop. Karena insiden di perpustakaan aku jadi tidak bisa melihat pungumuman yang ada di website. Aku akan melihat siapa yang memenangkan ada apa judulnya. Saat buku itu terbit aku akan membelinya untuk menjadi referensiku.
Ada yang aneh dari diriku. Sesuatu telah mendorongku untuk tidak melihatnya. Akhirnya itu benar aku lakukan, aku memutuskan hubungan dengan internet dan kembali mematikan laptop. Aku hanya memandang kosong ke depan. Aku bingung.
Aku memejamkan mataku sesaat. Aku benar – benar masuk ke dalam diriku sendiri. Ada sebuah pertanyaan yang sepertinya sedang melekat di hati. Apakah benar aku ingin menjadi seorang penulis? Satu pertanyaan yang mungkin sebenarnya telah ada jawabannya.
Pikiranku berlarian. Aku baru tersadar. Yang menjadi ganjalan bukanlah sebuah pertanyaan apakah aku ingin menjadi penulis. Bukan itu! Aku telah memiliki jawaban pasti tentang itu, IYA! Yang sebenarnya mengganjal ialah pertanyaan benarkah ini cinta? Benarkah yang aku rasakan ini cinta? Aku tak ingin cintaku bertepuk sebelah tangan. Tapi sekarang sudah terlihat cintaku memang tak terbalaskan kalau aku lanjutkan.
“Kau sibuk?” perkataan tanya itu membuatku membuka mata.
“Oh kau sibuk ya, mungkin lain kali” ujarnya lalu pergi dari ambang pintu kamarku. Aku menutup pintu, dan membuka dinding yang membatasi kamarku dengan kamar Hanif.
“Aku tidak sibuk” ujarku.
“Ada yang ingin aku bicarakan”
“Apa?” tanyaku. aku ingin ini langsung ke inti pembicaraan
“Di luar saja, kita bertemu di halaman belakang pukul 7 malam nanti. Aku tunggu kau disana” terangnya lalu pergi dari kamarnya.
Ia meninggalkanku yang masih terpaku di sini. Aku menutup dinding dan menghempaskan diriku ke kasur. Aku kembali memejamkan mataku yang masih terbalut dengan seragam sekolah.
YOU ARE READING
Moca Dandelion Sabrina
Dla nastolatkówSejak saat itu aku berpikir untuk memulai hidup yang baru. Hidup yang lebih nyaman dan tertata rapi. Aku menyadari kalau kehidupan yang aku jalani ini sia - sia. walau aku hidup di antara kebohongan dan kerasahasiaan... (lagi tahap editing >< tapi t...