Chapter II

494 95 137
                                    

TRAUMA

"Dia melihat obatku," kataku sambil mengetuk-ketukan kaki pada lantai, mengamati seorang pria berkacamata bulat di depanku yang langsung mendesis dan merenggangkan otot lehernya sehabis mendengar ceritaku mengenai kekacauan di hari kemarin.

"Lepaskan kasus mereka." Doyoung menghentakan punggung pada kursi. "Aku akan membantumu mencari terapis lain untuk mereka. Lalu fokuslah pada kesembuhanmu. Astaga- sudah berapa kali aku menyarankan hal ini padamu, mungkin kau perlu mengikuti suatu komunitas para terapis yang sedang mengalami trauma, di sana kau bisa saling menguatkan satu sama lain." Dia melepas kacamata culunnya itu, berlagak memutuskan sendiri solusi apa yang terbaik. Inilah yang paling kubenci dari seorang Kim Doyoung, seolah-olah dia memiliki hidupku seutuhnya.

Aku mendengus. "Biar aku beritahu. Aku sudah menjadi ahli psikoterapi tidak hanya satu-dua tahun ini. Tidak mungkin tiba-tiba aku menjadi sangat bodoh dan tidak tahu apa-apa. Aku pasti bisa mengatasi ini. Jadi, jangan meremehkan aku," protesku.

Doyoung memandang datar ke arahku. Aku menghitung detik demi detik seberapa cepat Doyoung menekan per bolpennya di atas papan kertas di pangkuannya. Namun sebelum lima detik berlangsung, suara click stagnan itu akhirnya berhenti. Embusan napas kasar menyambut kalimat bernada lesu itu, "siapa yang berani meremehkanmu? Salah satu psikoterapis terbaik dan terkenal di Orleans, Tuan Kim Jungwoo, karena keberhasilannya membantu kepolisian dalam menyelesaikan kasus kriminal atas penyiksaan dan pelecehan seorang remaja."

Aku terdiam.

"Tapi kau tahu, itulah yang akan menjadi boomerangmu saat ini," lanjut Doyoung.

Aku sama sekali tak bersuara. Mataku memilih beralih ke jendela depan rumah Doyoung. Seperti biasa, pagi-pagi seperti ini Nyonya Choi—si penggila tanaman anggrek, begitulah sebutan untuknya dari para tetangga di sini, termasuk Doyoung—sedang menyiram dan bercengkrama dengan tanaman kesayangannya itu di pekarangan rumahnya. Nyonya Choi adalah seorang janda berumur sekitar 70 tahun, ditinggal mati suaminya saat perang, padahal umur pernikahan mereka masih terbilang cukup muda pada saat itu—Doyoung pernah bercerita mengenai hal ini untuk memberiku sudut pandang baru tentang hidup orang lain yang senasib. Sampai sekarang aku masih tidak bisa membayangkan betapa kesepiannya wanita tua itu. Aku selalu ingin tahu, bagaimana cara dia bertahan hidup?

"Kau hendak memberitahuku siapa dia?" tanyanya.

Aku mengerdip, "Dia?"

"Klienmu! Siapa lagi?"

Aku tak mengindahkannya. Lagipula, dia tahu benar mengenai prosedur yang ada: kerahasiaan identitas klien.

"Baiklah, terserah kau saja. Intinya aku tidak ingin disangkutpautkan jika suatu hal buruk terjadi padamu atau klien yang kau tangani itu. Kalau tidak keberatan, kau harus berpura-pura tidak mengenalku jika dewan pusat mengetahui hal semacam ini," peringat Doyoung.

"Kau aman." Aku mengedikkan jari telunjukku ke arahnya. Sekalipun aku tahu, perkataan Doyoung hanyalah omong kosong. Aku sangat mengenalnya luar dan dalam: dia akan tetap melindungiku apapun yang terjadi.

"Bagaimana dengan teman kencanmu? Mingyu?"

Aku nyaris menggeram mendengar nama itu. Aku bahkan tidak tahu sebutan hubungan kami sudah sejauh itu, 'teman kencan.' Berawal dari pertemuan kami di parkiran supermarket. Setelah aku menghabiskan waktu kurang lebih sejam untuk membeli beberapa kebutuhan, aku hendak kembali pulang dengan meraih keberadaan halte di pinggir jalan. Namun, secepat itu mobil hitam chevrolet keluaran lama melesat ke arahku, tak sengaja menyenggol belanjaanku dan saat itu juga, semuanya berantakan. Mata semua orang tertuju padaku.

The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang