Chapter IV

558 98 117
                                    

⚠️ tw// mental illness, self-harm, domestic violence.

DINNER

Kupandangi cukup lama secara bergantian roti croissant dan potongan-potongan toasted baguette dengan olesan garlic sauce di atas piringku. Kedua tanganku telah siap menggenggam garpu dan pisau, sesaat sebuah tangan langsung menyomot salah satu potongan baguetteku.

"Ah jangan!" pekikku, sedikit manja.

Pria di hadapanku justru tertawa melihat wajah bersungut-sungutku. "Bukalah mulutmu," perintah Kim Mingyu. Tangan yang memegang roti itu menjulur ke arah mulutku. Aku sempat akan mengambil roti itu darinya, namun Mingyu tetap bersikeras ingin menyuapiku. Akupun melirik orang-orang yang berada di dalam café sebelum akhirnya aku memajukan kepalaku, melahap roti itu langsung dari tangannya.

"Kupikir seperti ini akan lebih cepat dan mudah," kata Mingyu, disertai senyuman pada bibirnya. Senyuman manis itu sering kali hadir setiap dia melihatku sedang menyantap makananku. Terkadang aku tersipu malu dibuatnya.

Pagi ini, keberadaan Kim Mingyu di depan kondominiumku cukup mengejutkanku yang baru saja pulang dari lari pagi. Dengan wajah sumringahnya, dia sudah melambaikan tangan dari ujung lorong sembari membawa bunga yang sama pada malam itu, mawar putih. Ini pertama kalinya kami bertemu setelah beberapa minggu aku mencoba menghindarinya karena permasalahan 'cium-mencium' itu. Aku kini sudah benar-benar memaafkannya dan aku sudah siap menemuinya lagi. Diapun memberanikan diri untuk datang dan mengajakku sarapan di dekat kantornya. Aku tidak bisa menolak ajakan itu. Lagipula, siapa yang tidak suka dibayari makan?

"Jam berapa kau ada janji dengan klien? Apa tidak masalah aku mengajakmu keluar?" tanya Mingyu.

"Tenang saja. Hari ini aku libur." Aku membaluri sirup gula ke atas pancake miniku—di piring keduaku. Beberapa kali aku sudah menelan ludah melihat banyaknya macam roti yang ada di atas meja. Mingyu benar-benar menghabiskan banyak uang hanya untuk mentraktirku seorang diri. Aku memang tidak tahu diri.

"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang setelah ini, aku harus langsung ke kantor." Mingyu terburu-buru menelan bongkahan roti serat di kerongkongannya, dia sedikit tersedak lalu berdeham. "Aku masih harus mengejar target nasabah asuransi untuk bulan ini."

"Mingyu, si Mr. Sibuk, huh?" godaku. Aku memasukkan irisan pancake itu ke dalam mulut dan kulumat cepat menggunakan gigi gerahamku. "Itu melelahkan." Aku menekuk sudut bibirku ke bawah. Tapi dia kebalikannya.

"Aku baik-baik saja. Kau yang sebenarnya lebih melelahkan. Mendengarkan masalah hidup orang banyak pasti membuat energimu terkuras."

Sangat terkuras. Perlu digaris bawahi.

"Nanti aku akan mencarikanmu taksi," kata Mingyu.

"Tidak usah. Aku bisa pulang naik bus," balasku enteng.

"No!" pekiknya berlebihan. Mingyu menarik beberapa tissue dengan cepat lalu mengusap sisa cairan gula di ujung sudut bibirku—aku sedikit berjengit dan mengambil tissue itu darinya.

"Aku akan dimarahi Doyoung karena telah menelantarkanmu," tambahnya.

"Doyoung?" Aku mendengus, "Kau tak perlu mengkhawatirkannya. Dia memang berlebihan, masih menganggapku seperti bayi besar yang tidak bisa melakukan apapun sendiri. Menyebalkan."

"Tapi kau menyayanginya?" tanya Mingyu, dengan raut wajah yang seperti meminta penjelasan. Dia terkadang masih ragu mengenai hubunganku dengan Doyoung—sama seperti Lucas, tiba-tiba aku merasa dejavu.

"Hanya sebatas kerabat," jelasku singkat. Kulihat bibir pria di depanku ini merekah.

"Aku senang." Mingyu meletakkan pisau dan garpunya untuk fokus menatapku. Aku sedikit terkejut setelah merasakan hangat di bagian punggung tanganku; Mingyu baru saja meletakkan tangannya di atas tanganku. "Kau masih mau memberiku kesempatan. Aku janji tidak akan mengecewakanmu."

The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang