Chapter III

495 94 129
                                    

LONELINESS: THE TRUTH

Cuaca mendung pagi ini.

Sinar matahari hanya lolos tak sampai seperempat area dari kamarku. Namun, mataku masih berbinar setiap harinya, menangkap bayangan Lucas yang dulu selalu berdiri di sisi jendela, menatapku dengan tatapan hangat seperti hangatnya lidah mentari yang menjilati setengah wajahnya.

"Bangunlah, sayang. Apa kau mau menyia-nyiakan pemandangan seindah ini dengan tidur seharian?" Lucas berjalan mendekatiku dan aku cepat-cepat menelungkupkan badanku, dengan posisi wajah mencium bantal.

"Aku tidak akan seperti ini jika semalam kau melakukannya dengan lebih lembut," rajukku. Bantal menyerap intensitas suaraku.

Tawa berat itu mengungkungku, bergema dari balik bahu telanjangku. Lucas mencoba mendekapku dari atas, mengecup-kecup bahu hingga kuping. Aku merona saat merasakan dinginnya kalung berinisial J milik Lucas menyentuh punggung telanjangku. Seketika badan gagahnya telah berguling ke samping. "Kau yang memintaku bergerak lebih keras. Aku hanya menurutinya. Apa masih sakit?" Lucas mengusap pantatku dari atas selimut. Aku hendak mengusir tangannya dari sana.

Namun, tak ada yang tersentuh.

Aku mengangkat wajahku: ruangan sudah tak seterang tadi. Cuaca mendung.

Aku menolehkan kepala ke samping: tak ada siapapun di sini.

Aku sendirian.

***

Aku ingat bagaimana dulu aku menjalani fisioterapi setelah kecelakaan, seperti hidup di dalam kubangan neraka. Aku mengalami cedera pada beberapa bagian tubuhku: cedera pada leher, memar pada tulang bahu dan rusuk, pendarahan arteri pada paha, hingga keretakan pada tulang punggung. Bagai pohon tak berdaun, berbunga bahkan berbuah, baru pertama kali hidupku serasa tak seberguna itu, yang biasanya aku membantu banyak orang menemukan penyelesaian masalah di dalam hidup mereka, disinilah aku berbaring kaku selama berminggu-minggu, bahkan rasanya setahun hanya kuhabiskan untuk belajar duduk dan berjalan, seolah kembali ke masa balita, bedanya dulu aku diajarkan dengan kasih sayang, tapi kini aku belajar dengan ditemani duka dan rasa bersalah. Terkadang aku masih merasakan trauma nyeri di beberapa titik, terkadang pula aku hanya merasakan sakit, tetapi jika ditanya di bagian mana, aku tidak bisa menjawabnya; aku hanya merasakan sakit.

Meski begitu, aku bersyukur dapat melewati masa-masa fisioterapi itu, sekalipun aku masih belum bisa menangani masalah tidurku.

Aku merenggangkan otot-otot tubuhku di bawah selimut. Kemudian dalam heningnya pagi ini, kupandangi langit-langit kamar, lampu gantung atas nakas dan jatuh pada lemari pakaian. Baju Lucas. Aku baru menyadari bajunya masih tersimpan rapi di sana. Beribu kali Doyoung menyarankanku untuk disumbangkan kepada orang-orang yang tidak mampu. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya jika aku sendiri juga termasuk golongan tidak mampu.

Tidak mampu merelakan kepergiannya.

Aku melonjak dari tempat tidurku, namun karena pergerakannya begitu cepat, aku jadi merasakan sensasi serangga-serangga kecil bergerumul di kepala dan menjalar cepat sampai mataku. Sial. Terimakasih untuk dua pil obat tidurku—kelebihan dosis sudah menjadi hal biasa bagiku, bahkan aku pernah menenggaknya langsung sampai 3 butir, dan setelahnya aku seperti orang mati.

Aku melakukannya semata-mata bukan untuk bisa tidur, melainkan untuk meredam wajah dan tingkah laku seseorang yang akhir-akhir ini masih selalu terngiang di pikiranku. Kali ini bukan tentang Lucas.

The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang