O1. REPRESSED EMOTIONS

57 3 14
                                    

Tokyo, Jepang. Tahun 2020.

"Miyazaki Hime-san?"

Sang pemilik nama menoleh cepat. Surai hitam nan panjang turut tersibak, mengikuti pergerakan kepala. Kedua sudut bibir lantas ia tarik ke atas, membentuk kurva senyum dan dilemparkan pada sosok pemanggil.

"Iya?"

Untuk beberapa detik, hening tercipta dari puan berambut ikat satu itu. Terkesima pada air muka manis seorang Miyazaki Hime, membuatnya seketika lupa tentang apa yang hendak diucapkan. Gadis itu kemudian mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha memulihkan kesadaran.

Menilik dari kenaan kemeja putih dan rok hitam, Hime menarik kesimpulan bahwa gadis dengan nametag Kitahara Miko itu adalah seorang karyawan magang. Hime sendiri memilih untuk tidak berbuat apapun hingga Miko tersadar dengan sendirinya.

"Ma-maaf. Ini pertama kalinya saya bertemu dengan seorang artis sedekat ini."

Hime terkekeh mendengar penuturan polosnya.

"Tidak apa-apa. Saya datang ke sini sebagai seorang klien. Jadi, kau bisa memperlakukan saya selayaknya klien yang lain."

"A-ah." Miko mengangguk paham seraya menyembunyikan grogi. "Kalau begitu, mari saya antar ... Miyazaki-san."

Situasi seperti ini tidak lagi asing bagi seorang Hime. Setiap ia mengunjungi suatu tempat, orang-orang akan dengan mudah mendeteksi sosoknya. Karir keartisan Hime tengah melambung tinggi. Tawaran drama, film, dan juga iklan, senantiasa mengalir masuk. Jika berjalan-jalan seperti ini, beragam respon ia terima dari mereka di sekeliling. Tak jarang tanpa sengaja ia bertemu dengan kaum pembenci. Tatapan tajam dan sindiran sinis tak ayal terdengar begitu saja. Namun, tak jarang pula ia bertemu dengan mereka yang melempar kagum. Hanya saja, Hime selalu merasa tidak nyaman jika mereka memperlakukannya dengan agak berlebihan.

"Tentu!"

Segaris senyum lebar ditujukan kepada Miko, membuat karyawan magang itu menjadi lebih bersemangat. Tangan kanan terulur, seolah memberi instruksi agar Hime mengikutinya dari belakang. Hime sendiri tak lagi menyahut-hanya menurut. Suara tumit pengampu lantas terdengar tiap sang puan menjejak langkah. Miko menuntun Hime menaiki tangga, menuju lantai dua kantor. Para karyawan yang awalnya terlihat sangat sibuk, seketika menghentikan pekerjaan mereka sejenak. Seluruh atensi membidik pada satu arah. Ya, kepada Hime sorot mata mereka saat ini.

"E-etto ...."

Miko gelagapan menyadari nyaris seluruh karyawan di sana menjadi tidak begitu konsentrasi. Namun, usai mendapati Hime justru tengah asyik menyapu pandang-mengagumi desain interior minimalis nan asri dari kantor tersebut, Miko menghela napas lega. Setidaknya, klien satu ini sama sekali tak terganggu dengan tingkah mereka.

Miko dan Hime berhenti di depan sebuah ruangan khusus tamu. Miko membuka pintu dan mempersilakan Hime masuk dan duduk lebih dulu sembari menunggu atasannya datang. Tulisan 'Great Tint Architects' beserta logo terpampang nyata pada dinding ketika pintu terbuka. Di sana terdapat beberapa sofa nyaman bernuansa hijau daun berjejer rapi. Ruangan diperindah dengan beberapa potret bangunan bergaya unik nan indah.

"Miyazaki-san, bagaimana dengan teh atau kopi selagi menunggu?"

"Teh saja."

"Baik, akan saya buatkan dulu."

"Um! Terima kasih."

Hime membentuk senyum simpul kala Miko berlalu. Ia duduk pada sofa di sana dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Degup jantung Hime semakin cepat. Ia tak menyangka hari seperti ini datang juga. Hari ketika ia akan menghadapi sendiri kesedihannya ... dan ketakutannya. Hari ketika ia akan bertemu dengan sosok itu lagi, namun dengan perangai berbeda. Telah lelah ia mengutuk semesta sebab dengan teganya, mengambil kebahagiaan dalam waktu sekejap. Kini, semesta kembali mempermainkan takdir. Pertemuan keduanya kali ini mungkin tak berarti apa-apa bagi orang lain, namun begitu mengukir garis nelangsa pada sanubari sang puan.

GAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang