"Emiko! Emiko-obaasan!"
Mematung.
Hanya itu respon Kurosawa Emiko. Tanpa mengerjap, tanpa bersuara.
Hancur. Luluh lantak.
Napasnya tercekat, jantung seakan berhenti berdetak. Apakah ini nyata? Pemandangan di seberang ... benar-benar bukan khayalan?
Jika ada jurang di dekat sana, Emiko akan memilih untuk melompat saja. Menyingkir dari tempat ini dan tidak perlu mengingat apapun lagi. Jika ini mimpi, tolong cepat bangunkan ia. Cepat! Cepat! Tolong keluarkan Emiko dari kecamuk ini!
Sekarang harus apa ...? Sepuluh tahun ini apa? Bagaimana mungkin seorang Samuel Goto mampu menutup hal ini rapat-rapat? Bermain di belakang Emiko, memasuki motel ... dengan seorang pria.
Selama mereka berkencan, pria belasteran Amerika-Jepang itu tidak pernah tertarik untuk mendatangi tempat semacam motel. Menoleh saja tidak pernah, apalagi menunjukkan hawa nafsu. Bukan berarti Emiko ingin mengajaknya ke sana, hanya saja puan berambut ombak itu sangat mengetahui gelagat Samuel begitu acuh tak acuh mengenai kehadiran motel di Jepang, begitu pula dengan entitas yang sering singgah. Saat bersama Samuel, Emiko pernah membahas topik hubungan eros di masyarakat; ketika rasa sayang menjadi liar dan berlebihan. Emiko berniat untuk mengangkat topik tersebut sebagai salah satu bahasan di majalah Vox Populi. Jalan pikiran Samuel tergolong luas, sebab itu ia ingin mengetahui sudut pandang sang kekasih.
Lalu, apa buktinya sekarang?
Eros.
"Obaa-san! Emiko! Cepat pergoki mereka! Kenapa diam saja?"
Yuki tanpa henti menepuk dan menggoyangkan tubuh sahabatnya. Panik. Kalut. Emosi. Emiko masih tak memberi banyak respon. Pundak yang sempat terangkat itu perlahan turun, diikuti hela napas panjang pertanda pasrah. Entah telah menyerah pada keadaan atau sedang tak bisa berpikir jernih.
"Ayo, cepat! Sebelum mereka masuk semakin jauh!"
"Eh ...? Iya ...? Pergoki, ya?"
Selayaknya orang linglung, Emiko menoleh pada Yuki dengan gerakan lambat. Begitu remuk hati dan kepercayaan sang puan.
"Ya, iya! Memangnya apa lagi?"
"Tidak usah .... Nanti akan kutanyakan sendiri."
"Kapan?! Jangan bertingkah seperti ini, bodoh! Kau membiarkan mereka masuk begitu saja?"
Keduanya lantas menoleh ke arah jendela, mendapati Samuel beserta pria dalam rangkulan tidak lagi berada dalam jangkauan penglihatan mereka. Terlambat untuk bertindak. Dua pria itu telah masuk ke salah satu bilik di motel.
Yuki menggeram kesal. Kepalan kedua tangan menguat. Haruskah diam seperti ini? Membayangkan segala kemungkinan yang terjadi di dalam sana. Puan berambut sebahu itu lantas berdiri seraya berkacak pinggang. Ia tak bisa diam, tidak bisa!
"Kalau kau tidak mau ke sana, biar aku saja! Kurang ajar! Bisa-bisanya Sam mengkhianatimu seperti ini?"
Buru-buru Emiko menarik lengan Yuki, mencegahnya untuk beranjak. Genggaman itu sedikit bergetar. Ia masih syok ... dengan amat ... sangat. Gelengan lemah turut dilaku kendati pelupuk di balik kacamata itu telah dipenuhi dengan bulir-bulir air.
"Tidak usah. Temani aku saja," tukasnya dengan suara pelan dan serak.
"Tapi—"
"Aku mengenal lelaki itu."
"APA? Kau mengenalnya? Siapa?"
"Kojima Haru. Sam pernah memperkenalkannya padaku sebagai teman."
KAMU SEDANG MEMBACA
GAP
General Fiction/gap/ 1. n. a break or hole in an object or between two objects. 2. n. an unfilled space or interval; a break in continue. Jika nestapa harus digenggam, mimpi harus dikorbankan, dan waktu tidak mengenal penantian, apakah terlahir kembali adalah sebu...