4

3 0 0
                                    


Aku melangkahkan kaki dengan bersendung kecil memasuki gerbang rumah. Seperti biasa sepi tidak ada yang perlu di sapa di sini. Aku membuka pintu sedikit keras.

"mama" gumamku sangat pelan.
Aku melihatnya seperti biasa teh diatas meja dan berkas di kedua tangannya. Kedatanganku tidak membuatnya menoleh atau merasa terusik. Sebagi anak yang baik aku tidak akan marah dengan sikap mama yang menjadikan tumpukan prioritas dan aku adalah nomer kesekian.

Aku menghampiri mama yang masih tidak menyadari kedatanganku. Aku menggapai tangannya tanpa aba-aba yang membuatnya sedikit tersentak. Aku mencium tangannya sebagai bentuk hormat kemudian pergi tanpa mengeluarkan satu patah katapun.

***

"kata orang di tinggalkan setelah pertemuan adalah hal paling menyedihkan. Aku rasa tidak. Ada yang lebih menyedihkan dari pada itu. Setiap hari bertemu tapi tidak saling mengenal" tulisku pada cerita instagram.

Aku mematikan ponselku meletakkannya di atas tempat tidur. Aku menutup mata sampai nafas yang mulai terdengar teratur. Aku mengistirahatkan diri dan pikiran yang mulai terpecah belah.

Kesendirian dan sepi adalah sahabat dalam kehidupan. Tidak ada yang bisa menghindari peristiwa itu sekalipun sudah mencoba lari sejauh mungkin. Keadaan yang tidak bisa diterima tapi selalu menjadi bagian terpenting dalam pemulihan. Mari istirahat sejenak.

***

Malam mendadak menghantuiku dengan mata yang enggan terpejam. Aku berakhir duduk di jendela menatap langit. Udara malam semakin mencekam memeluk erat tubuhku, semilir angin menghembus wajahku hingga beku. Aku terdiam menatap kehidupan yang abu-abu.

Hai semesta, apa kau benar-benar memusuhi kehadiranku? Ini kehidupan ditahun kesekian setelah aku dilahirkan. Kenapa yang kurasa hanya kekurangan tanpa bersyukur terhadap tuhan?

Aku membenci diriku yang selalu senang mengeluh. Aku tertunduk memeluk kedua lututku dengan bayangan hari esok yang akan ku buat lebih baik. Aku tidak peduli tentang pemikiranku yang buruk mengenai takdir.

Aku beranjak menutup jendela dengan semesta yang tidak berpenghuni. Aku ingin ikut serta bermimpi merencanakan hari-hari berikutnya dengan petualanganku.

Kedua tangan terangkat melafalkan doa dan permintaan. Entah tuhan akan mendengar atau akan mengabaikanku. Yang ku tau aku hanya punya sang pencipta yang maha mengerti setiap kehidupan yang baik untukku.

***

Aku mendengar cuitan burung yang menjadi alarm murni bisikan semesta. Aku menggeliat menggerakkan tubuhku yang kaku. Aku melirik jam yang masih pagi untuk beranjak dari tempat tidur. Aku terperangkap dalam selimut kemalasan. Nuraniku berkata aku harus beranjak berpetualang memulai hariku. Langkah lunglaiku terpaksa berdiri tegak menyiapkan diri yang ingin kabur dari semesta yang tidak memihakku.

Aku menuruni anak tangga, memandang ruang makan yang sudah berpenghuni. "Sini nak, kita makan bersama" tawaran pria berumur dengan lembut yang ku sebut papa. Aku mendekat tersenyum tipis di hadapan mereka. "senja mau sarapan apa? Oya ini susunya diminum" pertanyaan yang jarang aku dengar dipagi hari dari mama. Biasanya hanya bertemu ruang kosong dan roti di meja makan atau sesekali aku hanya melewati ruang makan yang sama sekali tidak menarik bagiku.

"nak, papa dan mama mungkin akan keluar kota beberapa hari mengunjungi nenek. Karena ini awal kamu sekolah, papa mama pikir kamu tidak perlu ikut" tutur wanita yang berhasil membuatku tersenyum sinis. Aku mencoba menetralkan wajahku sebisa mungkin. Aku tidak ingin menunjukkan ketidaksukaanku terhadap kesibukan papa dan mama. Aku selalu memaklumi apapun yang di anggap baik oleh mereka. Aku tidak peduli dengan aku yang tidak suka atau akan suka, mereka tidak akan bertanya mengenai pendapatku.

Sarapanku selesai, aku bangkit dari tempat duduk dan mencium lembut punggung tangan dua malaikatku itu. Aku bergegas menuju halte tempat pemberhentian bus satu arah yang melewati sekolah.

Sesekali aku melihat anak dengan usia lebih muda dariku yang bernyanyi di tengah perjalanan penumpang. Aku melihat wajah sendu dan tubuh yang kurang terawat yang membuatku merasa iba. Aku selalu berfikir hal-hal buruk ketika melihatnya "dimana orang tuanya?" "apa dia tidak sekolah?" "bagaimana dia hidup seperti itu?" berkali-kali perasaan serasa dikutuk oleh rasa tidak bersyukur. Aku mengeluh disetiap permasalahan yang membuatku merasa kurang beruntung.

Lihat dia, bernyanyi dengan gitar kecil ditangannya. Mengalun nada dengan begitu lihai dan menyenangkan. Aku tersenyum tipis saat dia mengadahkan sebuah wadah plastik permen dihadapanku. Aku merogoh sepeser uang untuknya yang lebih membutuhkan dari pada aku.

Aksara SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang