"Aduh, gila panas banget..." keluh seseorang kesal, topi upacara yang tadinya terpasang di kepalanya kini ia gunakan untuk mengipas-ngipas wajahnya.
"Iya woi, anjing." Yang di sebelahnya ikut menyahut. "Tai lah, ngapain upacara sih?!" Protesannya diangguki oleh orang-orang di belakangnya.
"Duh, gua makin item dah..."
"Ah, nanti bagi parfum dong!"
Rombongan ini membelah koridor dengan cepat, secara refleks murid kelas lain memberikannya jalan. Jumlah mereka adalah tujuh belas, dengan komposisi delapan laki-laki dan sembilan perempuan. Kelas 11-1, kelas unggulan, dengan bahasa bilingual dan diisi oleh orang-orang yang cerdas secara intelektual dan non akademis.
Tapi, tidak dengan etika.
Pintu dibuka, udara dingin dan aroma pewangi ruangan membuat orang-orang terdepan menghela napas lega. Lengangnya kelas mereka selalu menyenangkan, terasa familiar karena tidak berubah sejak tahun lalu dan akan terus sama hingga kelulusan nanti. Kecuali ada satu orang asing yang berdiri di depan kelas.
Laki-laki. Rambutnya sedikit kecokelatan, cukup panjang hingga menutupi telinga. Seragamnya dilapisi jaket denim yang agak terlalu besar untuk tubuhnya. Tubuhnya ia sandarkan pada meja guru, sementara di tangannya terdapat buku absensi kelas tersebut.
Ia menoleh, lalu tersenyum riang. "Selamat pagi, Kakak-kakak."
"Siapa lu?" Tanya yang paling depan, sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas, diikuti semua anggota kelas di belakangnya. Rasa penasaran mereka dengan keberadaan orang asing yang memanggil mereka kakak tidak sekuat keinginan untuk duduk dan mendinginkan tubuh di dalam kelas.
Pintu ditutup, dan senyum Arjuna melebar.
"Heh, jawab!" tiba-tiba seseorang yang duduk di meja paling belakang membentaknya. Arjuna menatapnya. Yang membentaknya sudah jelas lebih tua karena, gila bahkan harusnya Arjuna masih berseragam SMP. Seragam SMA yang ia gunakan sekarang bukan miliknya.
Ia merasakan semua pasang mata di kelas itu jatuh padanya, membuatnya cukup senang dengan perhatian "Aku?"
"Aku, aku. Kayak banci," seseorang berkata sinis, lalu Arjuna disoraki semua orang di hadapannya.
Remaja itu hanya tersenyum. Kelas menjadi riuh, tetapi Arjuna kehilangan atensi dan ia benci itu. Ia melangkah mendekat ke arah jajaran meja siswa, sedangkan tangannya meraih sesuatu dari kantung celananya.
Brak!
Sebuah pisau lipat ia tancapkan di atas meja murid paling depan, membuat si pemilik meja yang tadinya menghadap belakang nyaris terjungkal karena terkejut. Lalu menatap pisau tersebut ngeri.
Kelas menjadi lengang selama beberapa saat. Rasa takut menghampiri beberapa penghuni kelas, terutama setelah mereka mendapatkan pengelihatan yang lebih jelas tentang Arjuna. Telinganya yang tertutup rambut ternyata penuh tindikan di bagian kanan, dan ada sebuah tattoo di lehernya yang sepertinya tidak hanya berakhir di sana.
"Ah, sekarang aku dapat perhatian kalian?" Arjuna bertanya senang, memecah keheningan. Dua orang di paling belakang berdiri, berjalan ke arah Arjuna dengan marah. "Anjing, maksud lu apa bawa-bawa piso-"
Kerah Arjuna ditarik, membuatnya sedikit terangkat karena tubuh Arjuna yang kalah tinggi. Kendati panik, ia malah tersenyum miring membaca nama yang tertera di seragam orang yang mencengkram kerah bajunya. "Jangan salah paham, Kak Vincent." Katanya, nada suaranya terlampau tenang dalam keadaannya yang seperti itu. "Justru aku mengeluarkan itu untuk kalian, mana tau aku bisa benar-benar membunuh kalian kalau kalian tidak melukaiku, hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
vengeance.
Short StorySatu tarikan napas untuk mengendalikan insting membunuhnya yang terus meraung. "Selamat pagi, Kakak-kakak." (cover pic from pinterest, ain't mine)