Arjuna bukan adik kandung Bimasena. Pada dasarnya, mereka adalah saudara sepupu.
Memang dasar genetik, otak cemerlang Bimasena juga dimiliki oleh Arjuna, meskipun yang lebih muda menderita disleksia yang membuat kemampuan membaca dan menulisnya sedikit terhambat. Namun, bocah itu menemukan dunianya sendiri, di dunia seni. Ia senang melukis, di kanvas atau di kulit. Polikrom atau monokrom.
Arjuna adalah pembangkang, berbeda dengan Bimasena yang penurut. Perbedaan mencolok itu tidak menghadirkan jarak di antara mereka, malah mendekatkan keduanya. Untuk Arjuna yang diabaikan oleh orang tuanya secara psikologis hampir seumur hidupnya, Bimasena adalah figur kakak terbaik. Bimasena adalah segalanya untuk Arjuna yang liar dan bebas.
Karena katerbatasan fasilitas di negara, Arjuna mendaftar pada sekolah menengah pertama khusus seni di negeri sebelah. Awalnya ia ragu, ia harus jauh dari Bimasena. Yang kemudian hanya ditertawakan oleh yang lebih tua, lantas meyakinkan bahwa hubungan mereka tidak akan berubah meskipun terkendala jarak.
"Apa sih? Kayak orang mau ldr aja, geli." Begitu katanya, membuat Arjuna mengerang kesal karena sedang bicara serius.
Dan memang begitu, selama tiga tahun Arjuna bersekolah, semuanya baik-baik saja. Ia mendengar Bimasena diterima di SMA terbaik kota, lalu ditempatkan di kelas unggulan pula. Dada Arjuna yang malah sesak karena bangga atas kakakknya. Bimasena selalu bercerita bahwa ia sangat menikmati kehidupan SMA-nya. Dikelilingi ilmu yang menarik dan teman-teman yang baik. Terkadang Arjuna heran dengan sifat Bima yang kelewat optimistik. Tapi memang begitu kakaknya. Selalu beranggapan bahwa semua orang adalah orang baik.
Sampai tiga bulan lalu, Arjuna dipanggil pulang ke kota asalnya untuk menghadiri pemakaman Bimasena.
Kecelakaan, katanya. Jatuh dari atap, katanya.
Tetapi malam hari, sendirian, dan berseragam. Kecenderungan bunuh diri? Arjuna rasa tidak.
Ini tidak semudah film-film dimana Bima menuliskan jurnal harian tempat ia menuliskan semua kekerasan yang ia terima. Arjuna harus mengerahkan semua sumber daya yang ia punya, melakukan penyelidikan tunggal tanpa arah untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi.
Menelan banyak kafein dan nikotin, makan waktu tiga bulan, tetapi pantas diperjuangkan.
Semuanya tidak berhenti saat Arjuna paham apa yang sebenarnya terjadi. Ia melanjutkan pencarian informasinya, sampai ke tahap di luar akal sehat. Mencari tahu gerakan pertama apa yang biasa dilakukan Vincent dan Aleric jika terlibat adu tinju, berapa detik yang diperlukan mereka untuk menghasilkan reaksi. Mencari tahu jadwal pelajaran kelas 11-1. Mencari tahu kapan kelas tersebut akan kosong. Bahkan memalsukan kartu pelajar agar bisa menyelinap masuk ke sekolah tersebut.
Pagi itu, Arjuna mengenakan jaket denim milik Bimasena. Menggunakan seragam SMA milik Bima yang sebenarnya cukup besar di tubuhnya. Memasuki kelas di lantai dua, lantas menunggu semua anggota kelas untuk hadir. Tangannya sedikit bergetar saat membuka buku absen. Karena sedih dan karena marah. Nama Bimasena masih di sana, berada di absen teratas, tetapi dengan coretan merah menimpa namanya. Sebuah penghinaan, Arjuna menganggapnya.
Riuh terdengar dari koridor, Arjuna mengeratkan pegangannya pada buku absen. Ia tidak boleh terburu-buru, ia harus menikmati ini. Pembalasan dendam harus ia nikmati sebaik-baiknya.
Orang-orang rendah ini berani-beraninya membunuh kakaknya.
Pintu terbuka, dan Arjuna menoleh, berusaha memberikan senyuman saat seluruh sel otak menyuruhnya untuk langsung menerjang mereka.
Kelas unggulan omong kosong. Mereka bahkan tidak punya kapasitas yang cukup untuk disebut manusia.
Satu tarikan napas untuk mengendalikan insting membunuhnya yang terus meraung.
"Selamat pagi, Kakak-kakak."
Arjuna bersumpah akan membuat orang-orang ini menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
vengeance.
Short StorySatu tarikan napas untuk mengendalikan insting membunuhnya yang terus meraung. "Selamat pagi, Kakak-kakak." (cover pic from pinterest, ain't mine)