bagian 5

206 31 9
                                    

Katakanlah Abi memang gila, atau ia terlalu menganggap pekerjaannya penting, atau mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting. 

Tanpa sepengetahuan Elana, Abi mengikutinya dari belakang menggunakan sepeda motor. Bahkan lelaki itu dengan setia menunggu di luar Hotel, dengan jarak cukup jauh. Abi hafal dengan baik mobil yang dikendarai Rony, meski berjarak cukup jauh, ia bisa mengenalinya. 

Ponselnya tiba-tiba berdering, nama Elana muncul di layar. Segera mungkin ia menekan tombol hijau, dan terdengar suara merdu Elana mengalun cepat, memintanya agar segera datang. Abi kelimpungan, bagaimana ia harus bersikap. Apakah ia harus datang secepat mungkin sentara ia tidak mengendarai mobil? Atau ia harus putar balik untuk menukar kendaraanya terlebih dahulu, tapi itu akan memakan waktu lama. Jalanan Ibu kota tidak pernah sepi, terlebih di malam minggu seperti ini. 

Abi kebingungan, namun begitu ia melihat sosok Elana keluar dari dalam gedung seorang diri, ia tidak mampu lagi berpikir. Segera mungkin ia mengendarai motor dan menghampiri Elana yang tengah berdiri. 

Elana menatap bingung sosok lelaki yang masih berada di atas motornya, lengkap dengan jaket hitam dan helm berwarna senada. Tidak perlu membuka helm untuk mengenali siapa yang datang, namun Elana tidak menyangka Abi akan datang secepat kilat, selang beberapa menit ia menghubunginya. 

"Kamu,, cepat sekali." 

"Kebetulan aku sedang ada di luar rumah," 

"Ngapain?" 

"Ada sedikit urusan,"

"Dengan?" Elana terus bertanya seperti seorang wanita mengintrogasi kekasihnya telat datang. 

"Dengan seorang teman," 

"Wanita?" 

Abi menghela lemah, dan mengangguk agar Elana tidak kembali bertanya. 

"Dengan, Ani?" 

Sejenak Abi mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti dengan pertanyaan Elana. Mengapa Elana memiliki pemikiran seperti itu, bahkan menyebut nama Ani. 

Abi tidak ingin semakin lama Elana semakin banyak bertanya, karena jujur saja ia merasa kurang nyaman, menurutnya tempat ini terlalu asing untuk ukuran seperti dirinya. Abi mengangguk cepat, dan mempersilahkan Elana untuk naik ke atas motornya. 

Suasana hati Elana semakin memburuk, terlebih seletalah Abi mengangguk untuk pertanyaannya yang terakhir. 

"Kamu mau aku naik motor?!" Tanya Elana, tidak percaya. 

"Aku tidak punya mobil, hanya ini yang aku miliki." 

"Kenapa gak pake mobil seperti biasanya! Kenapa harus bawa motor!" Elana kesal untuk alasan yang tidak dimengertinya. 

"Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Kalau kamu keberatan, aku bisa pesankan taksi, aku akan mengikutimu dari belakang." 

"Kamu memintaku naik taksi? Bagaimana jika sopir itu berniat jahat padaku?" 

Abi benar-benar tidak mengerti, mengapa Elana bersikap berlebihan tidak seperti biasanya. Wajah Elana nampak kesal, dan tidak bersahabat seperti biasanya. 

"Lalu bagaimana baiknya? Aku ikuti apapun yang kamu mau." 

Elana justru semakin kesal dengan bahasa isyarat Abi, ia melepas sepatu dan menaiki motor Abi tanpa memperdulikan belahan dress yang dikenakannya terangkat hingga sebatas paha. 

"Ayo buruan jalan!" Elana menepuk pundak Abi.

Menghadapi wanita yang sedang dalam mode marah, diam memang lebih baik. Abi tidak berkomentar apapun lagi, ia melajukan motor sesuai keinginan Elana. 

BAHASA ISYARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang