"Kamu sakit, Nak?" Tanya Erlangga pada Elana. Mereka berdua tengah menghabiskan sarapan bersama, seperti biasanya.
"Nggak. Apa aku terlihat sakit?" Elana memegang wajah dengan kedua tangannya. "Kenapa semua orang mengira aku sakit, apa wajahku terlihat pucat?" Lanjutnya.
"Memang siapa yang mengira kamu sakit, selain Ayah?"
"Rony. Semalam dia bertanya seperti itu,"
"Itu tandanya dia perhatian. Secara garis besar banyak kesamaan antara Ayah dan Rony, benar bukan?"
Elea hanya menggumam pelan, sambil menyantap semangkuk sereal dengan malas. Erlangga menatap Elana dengan seksama, ada yang tidak beres dengan putrinya. Biasanya Elana begitu antusias menceritakan hubungannya dengan Rony, terlebih semalam mereka menghabiskan waktu bersama.
"Hubungan kalian baik-baik saja?" Selidik Erlangga.
"Baik,"
Erlangga tidak puas dengan jawaban singkat Elana, namun ia tidak ingin memaksa putrinya bercerita. Elana akan berbicara jika ia benar-benar ingin, dan ia akan memilih diam jika menurutnya tidak perlu.
"Sepertinya hari ini jadwal Rony tidak terlalu padat, kamu bisa berkunjung ke Rumah sakit menemuinya."
"Nanti aku pikirkan, aku masih memiliki banyak pekerjaan."
"Baiklah, kalau begitu Ayah berangkat dulu."
Setelah Ayahnya pergi, Elana masih duduk di meja makan, menghabiskan sisa sereal yang sudah tidak jelas bentuknya. Sesekali ia memperhatikan Ani hilir mudik di hadapannya, membersihkan bagian rumah. Bukan Ani yang menjadi perhatiannya, tapi sebuah ikat rambut yang dipakai gadis itu. Elana berdecak kesal, mengapa Ani terus memakainya. Apa tidak ada ikat rambut selain itu?
Elana berjalan keluar, melewati pintu utama. Begitu kepalanya muncul dibalik pintu, Abi sudah berdiri dengan pakaian rapi seperti biasanya.
Elana salah tingkah. Masih teringat jelas bagaimana kejadian semalam, membuatnya sedikit gugup berhadapan dengan Abi, namun ia mencoba bersikap biasa, meski jantungnya berdebar kencang.
"Temani aku pergi, jam sepuluh."
Abi mengangguk,
"Nanti sekalian aku ganti uang taksi semalam."
Abi kembali mengangguk,
"Jangan telat, aku siap-siap sebentar lagi."
Lagi-lagi Abi mengangguk. Membuat Elana semakin kesal.
Elana kembali masuk kedalam rumah, setelah ia menutup pintu dengan cukup keras. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa Abi bersikap biasa di hadapannya, setelah semalam lelaki itu memeluknya. Apakah pelukan itu hal biasa yang sering dilakukannya pada semua wanita, termasuk dirinya dan Ani?
"Yang benar saja," gerutu Elana, ia hanya dirinya saja yang merasa malu, sedangkan Abi hanya bersikap datar seperti biasanya.
Meski tidak ada tempat tujuan, Elana tetap pergi ditemani Abi, sebagai ajudan sekaligus sopir pribadinya. Selama perjalanan tidak ada yang bicara, termasuk Elana.
Abi memang tidak pernah memulai pembicaraan, terkecuali Elana yang memulainya terlebih dahulu. Kekurangan yang dimilikinya, membuat beberapa orang mengalami kesulitan berkomunikasi dengan Abi. Namun tidak untuk Elana, semenjak lelaki itu resmi bekerja sebagai ajudannya, entah mengapa Elana bisa beradaptasi dengan mudah, meski Abi memiliki kekurangan.
"Di depan belok kanan." Pinta Elana.
Sesuai instruksi majikannya, mobil yang dikendarainya berbelok ke kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHASA ISYARAT
RomanceBahagia tidak selalu tentang apakah pada akhirnya kita bisa hidup bersama orang yang kita cintai, tapi bahagia sesungguhnya yaitu ketika bisa jujur dengan apa yang kita rasakan, meski pada akhirnya perpisahan adalah jalan yang terbaik.