bagian 3

234 27 8
                                    

Elana berlari begitu ia mendengar suara motor yang begitu familiar di telinganya. Ia mengabaikan sakit di kakinya, akibat tersandung pintu kamar. Begitu melihat Abi memasuki halaman rumahnya. Elana ingin segera bertemu Abi. 

"Sudah sampai?" Tanya Elana, meski Abi baru saja menginjakan kakinya. 

Lelaki itu menoleh dan mengangguk. 

"Syukurlah,,," rasa lega menyeruak di hati Elana. Ia masih memperhatikan Abi, dari mulai melepas helm sehingga lelaki itu berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh tanya. Sadar apa yang dilakukannya salah, Elana salah tingkah, "Aku,, aku cuman memastikam kamu datang tepat waktu." Abi masih menatap Elana dengan satu alis terangkat. 

"Aku akan kembali ke kamar kalau begitu," 

Abi tiba-tiba menghadang langkahnya, "Kenapa lagi? Kamu pasti capek, lagipula aku sangat sibuk. Jadi harus segera kembali ke kamar." Abi tidak bicara seperti biasanya, namun tiba-tiba saja ia berjongkok di hadapan Elana membuatnya terkejut dan mundur beberapa langkah.

"Apa yang kamu,, lakukan,,," suara Elana tercekat begitu tangan Abi mengelus jari kakinya. 

Abi menengadah, "kakimu kenapa?" 

"Itu bukan apa-apa. Aku membeli sepatu terlalu kecil, jadinya lecet." Elana menarik kakinya, namun terlambat karena Abi sudah terlebih dahulu memegangnya dengan kuat. 

"Tunggu disini, aku ambil sesuatu." Abi menggerakan tangannya, meminta Elea agar ia tetap diam di tempatnya. Lelaki itu membuka kamarnya, tidak berselang lama ia kembali dengan membawa sesuatu di tangannya. Tanpa memperdulikan peluh yang menetes di wajahnya, ia kembali berjongkok dan mengobati luka Elana dengan telaten. 

Sebagai wanita normal pada umumnya, perlakuan Abi membuat hati Elana menghangat. Namun Elana tidak ingin terbuai dengan sikap manis Abi, apapun yang dilakukan lelaki itu hanya sebatas kerja. Tidak lebih. 

"Aku tidak apa-apa." 

"Lain kali hati-hati," 

Elana mengangguk, 

"Dan harus pakai alas kaki," Abi memberikan sepasang sandal jepit untuk dipakai Elana. 

"Aku harus segera kembali." Setelah menerima sendal pemberian Abi, Elana segera pergi menuju kamarnya. 

"Bodoh,,, apa yang aku lakukan!" Gumamnya pelan, namun masih bisa didengar oleh Abi. 

Kesibukan yang diceritakannya kepada Abi adalah sebuah kebohongan, karena nyatanya ia hanya menjadi ulat kasur seharian. Tidak ada kegiatan yang bisa dilakukannya, terlebih Rony memberinya kabar, jika lelaki itu tidak bisa menemaninya dan beralasan sibuk. 

Sesampainya di kamar, barulah Elana merasa sakit di kakinya. Ia meringis begitu melihat goresan cukup dalam di dekat jari kelingking, beruntunglah tidak sampai mengeluarkan darah. Terkadang Elana sering merasa aneh dengan sikap Abi, lelaki itu selalu tau apapun yang terjadi padanya, meski hal kecil sekalipun. Mungkinkah Abi memiliki indra keenam? Atau dia ternyata seorang peramal? Entahlah, Elana tidak tahu. 

Waktu menunjukan pukul sembilan malam dan Elana masih menunggu Ayahnya pulang. Tidak ada tanda-tanda Erlangga akan pulang lebih awal, lelaki paruh baya itu selalu saja pulang lewat dari jam sebelas malam, jika ia pulang lebih awal tentunya Erlangga memiliki janji dengan rekan bisnisnya dan tetap akan kembali ke rumah tengah malam. Elana masih menunggu Ayahnya datang, ia tidak menyentuh sedikitpun hidangan makan malam yang tersedia di meja makan. Berbagai hidangan lezat itu bahkan tidak lagi hangat, berubah dingin dan tidak menggugah selera lagi. 

Elana tidak pernah mengeluh, meski sejujurnya ia amat merasa kesepian. Erlangga tidak pernah membatasi apapun yang ingin dilakukannya, dengan syarat kemanapun ia pergi Abi harus ikut serta bersamanya. Namun Elana tidak diizinkan bekerja, atau  melakukan hal yang bisa menghasilkan uang. Erlangga selalu beralasan, semua yang dimilikinya adalah milik Elana, jadi untuk apa Elana bersusah payah bekerja. Elana hanya perlu menikah dengan lelaki tepat yang bisa mengelola semua kekayaan keluarga Mahika dan hanya bertugas menjaga Elana dengan baik. 

BAHASA ISYARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang