WYS - [9] Mama dan Kasur Barak Bujangan

3.1K 513 54
                                    

Malam usai penyambutan, aku baru sempat menelepon Mama. Jika di sini pukul 22.31 WIB, maka bisa dipastikan di sana pukul 17.31 WIB. Masih cukup sore dan cukup malam di sini. Aku tidur bersama perwira lainnya, tidak ada ruangan spesial, semua ada di barak bujangan. Sama saja seperti semasa di Akmil. Dulu, aku merasa tidak punya privasi. Karena semua bisa melihat bagaimana kamarku. Aneh, tapi lambat laun aku terbiasa. Sekarang, berbagi ruangan besar menjadi sesuatu yang menyenangkan.

"Tidur, Dik," sapa Abang lettingku di sini, 2 tahun di atasku.

"Siap, Bang. Izin, mau telepon Mama dulu."

Bang Muh, begitu kami diperbolehkan memanggilnya. Ia terdiam beberapa saat lalu terkekeh. "Benar rupanya rumor tentangmu, Dik."

Aku punya perasaan tidak enak soal ini. Sampai kapan rumor itu kusandang padahal aku sebenarnya tidak begitu. Aku sudah berusaha keras menunjukkannya tapi selalu saja orang-orang menganggapku anak Mama.

"Mau tidur saja harus telepon Mama dulu," selorohnya. Tapi jujur, tak ada yang kusukai dari selorohan semacam itu. Tidak, bukan hanya untuk para tentara yang selalu dianggap kuat. Pada siapapun. Memangnya kenapa jika seorang anak dekat dan manja pada Mamanya? Hanya orang-orang yang tidak pernah merasakan dekat dengan Mamanya yang akan mengejek orang lain. Ya, meskipun manja dan apa-apa merepotkan Mama di usia dewasa itu ada kadar wajarnya.

Menarik napas. "Izin, Bang. Mama saya di Belanda. Saya berangkat ke sini belum pamit tadi. Jadi, saya hanya ingin mengabari Mama saya. Bagaimanapun saya memang anak Mama saya, bukan anak Tante saya."

Bang Muh mengerlingkan mata, berjalan ke tempat tidurnya di pojokan.

Rasanya aku sudah kebal sekarang. Mau dibilang anak Mama, mau dibilang anak Papa. Aku memang anak keduanya. Yang jelas, aku juga bisa melakukan pekerjaan yang keras, manja tepat pada waktunya, dan tidak banyak merepotkan mereka lagi. Toh, sampai mati pun sebenarnya kita semua masih bergantung pada kedua orang tua kita.

"Mam," panggilku setelah yakin telepon terhubung. "Gimana kerjanya di Amsterdam, Mah?"

Tidak ada jawaban, cukup lama.

"Mama sudah makan, kan?"

Tetap tidak ada jawaban. Kujauhkan ponselku, layarnya menyala, menghitung detik demi detik yang bertambah. Aku bergegas mematikan panggilan telepon dan menggantinya dengan panggilan video. Tidak kunjung diangkat hingga panggilan ke 2, Mama baru mengizinkan aku menatap matanya yang sayu.

"Mam, nangis?"

"Ya, kamu pikir? Si Anak Emas yang justru pengen jadi anaknya negara!" ketus Mama dengan ujung mata basah.

Terkekeh. "Mam, kenapa sih? Orang Saka juga nyaman-nyaman aja."

"Kamu!" Sedikit kesal sembari memerhatikan sekelilingku yang berhasil tertangkap kamera. "Kamu tidur di tempat kaya gitu?"

"Iya, ini sih enak empuk," balasku santai.

"Empuk? Itu pasti keras, Ka. Kecil lagi kasurnya."

"Ini mending tahu, Mam. Udah biasa lagian di Akmil kan juga gini."

"Iya? Kok Mama nggak tahu?" Mama menangis lagi. Beliau memang cengeng, sudah tidak heran lagi aku. Apa-apa menangis, apa-apa menangis, tidak mau anaknya susah, lebih keras didikan Papa dibandingkan Mama. "Ibu macam apa sih Mama ini? Masa soal anaknya gimana aja nggak tahu."

"Kan Saka juga nggak pernah cerita, Mam. Wajar kalau nggak tahu. Sudah ah, masalah kasur barak aja loh ditangisin."

"Gimana mau jaga negara kalau tidur di kasur yang bahkan bisa bikin punggungmu sakit, Ka? Encok semua itu punggung pasti, kan?"

Waktu Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang