Chapter 3

1.6K 16 1
                                    

Kyla terbangun dengan perasaan berdebar-debar, ngeri dan dingin yang menusuk. Entah mengapa, ia sangat ketakutan sehingga menangis sendiri. Karena takutnya, ia tidak bisa tidur lagi. Saat itu sudah jam 3 pagi. Terpaksa Kyla mandi untuk menyegarkan tubuhnya dan mendinginkan kepalanya. Setelah mengenakan pakaian lain yang dipinjamkan padanya, ia memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan sebentar.

Ia mengembara di tengah kota yang baru ia jumpai. Ini adalah tempat asing baginya, dimana ia sendiri yang memiliki warna kulit berbeda dari orang lainnya. Penduduk Somaria memiliki kulit putih, sementara dirinya berkulit merah dengan warna sedikit gelap.

Rupanya pada jam 4 subuh pun sudah ada orang yang berangkat menuju kuil. Beberapa orang yang baru pertama kali melihat orang Suku Odini, tertarik untuk menatapnya sambil berlalu dengan keheranan karena warna kulit Kyla yang berbeda dari mereka.

Kyla merasa tidak nyaman karena merasa menjadi tontonan kecil di jalan karena sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa ia ubah namun dianggap aneh oleh orang lain. Sebuah perasaan yang wajar apabila kau pertama kalinya tampil sebagai sebuah aksen dalam sebuah komunitas.

Di sebuah jalan, Kyla berpapasan dengan seorang nenek yang sedang berjalan tertatih-tatih. Gelombang otak dari nenek tersebut tertangkap oleh Kyla. Melodinya sangat sepi, hampa dan terbungkam. Melodi yang tak lama kemudian dipahami oleh Kyla sebagai orang yang hidup sebatang kara. “Kesepian” adalah keadaan paling menyedihkan kedua setelah “Dilupakan” yang pernah terjadi dalam hidup seseorang.

Kyla memutuskan untuk menghampirinya dan menggandeng tangannya.

Nenek itu terkejut ketika seseorang menggenggam tangannya dengan lembut. Ia menaikkan wajahnya untuk melihat siapa orang itu. Mata tuanya sudah tidak lagi mampu melihat dengan jelas. Namun ia percaya bahwa gadis ini pasti memiliki hati yang baik. Otot bibirnya yang menua itu tersenyum saat Kyla membimbingnya menuju kuil. Senyum seperti rasa terima kasih, rasa syukur, ia senang seseorang mau perduli padanya. Nenek tua itu berjalan sangat lambat. Dan Kyla sangat sabar membimbing langkahnya.

Sepanjang perjalanan ke kuil di tempat pertapaan, nenek itu bercerita banyak pada Kyla. Dia sudah berusia seratus tahun dan matanya sudah rabun. Suaranya sudah sedikit parau, tapi masih jelas apa yang hendak diucapkannya. Anak cucunya merantau entah kemana dan sejak suaminya meninggal 20 tahun lalu, ia sebatang kara, hidup sendirian.

Nama nenek itu adalah Emily Baltzer. Anak-anaknya tidak pernah pulang sejak 15 tahun lalu, seakan menghilang di balik bukit dan hutan. Untuk makan sehari-hari, ia bergantung pada belas kasih tetangga yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya.

Kyla merasa sedih. Tidak seharusnya orang tua yang sudah uzur dibiarkan hidup sendirian dan dilupakan seperti ini.

Manusia terkadang seperti itu. Mereka terlalu sibuk dengan urusannya sendiri sehingga lupa akan orang yang pernah berjasa bagi mereka. Saat mereka masih kecil dan tidak berdaya, orangtua lah yang merawat dan melindungi mereka hingga mereka menjadi manusia mapan. Dan seringkali mereka lupa pada orangtuanya dan menganggap mereka sebagai beban saat orangtua mereka sudah tua.

Di kuil, nenek Emily mengajari Kyla bersembahyang mendoakan Egaza. Tempat yang mereka datangi adalah kuil pertapaan Nothred. Nothred berasal dari nama sebuah gunung di Barbandia. Di sana terdapat seorang ahli beladiri yang menguasai ilmu kebatinan dan pengikutnya lumayan banyak. Mereka akhirnya disebut sebagai pertapa atau monk.

Beberapa profesi yang diciptakan para pertapa Nothred adalah monk, atau orang umum mengatakan pertapa. Pada tingkat selanjutnya bisa naik level menjadi conjurer. Biasanya conjurer lebih mudah menguasai element api dan angin. Selain conjurer, pada zaman dahulu, ada profesi yang cukup populer, shaman atau orang awam menyebutnya ahli nujum. Bisa dibilang mereka adalah seer unradical.

Force : The Guardian (draft version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang