Pagi, Sore, Matahari dan Rindu

42 0 0
                                        

Sore hari yang cerah menjadi harapanku saat ini. Harapan agar petikan gitarku tidak dapat menidurkan matahari. Tapi sayang, sore itu hujan turun begitu deras sehingga alunan petikan gitarku tak dapat terdengar. Petikan gitar terkalahkan oleh suara tetesan-tetesan hujan yang mewakili tetesan-tetesan rindu yang tak dapat ditahan.

Aku melihatnya di pinggir jalan. Menggenggam payung agar dapat terhindar oleh tetesan-tetesan rinduku yang terwakili. Terlihat ketakutan memandang jalan besar. Seperti biasa, tanpa takut dengan tetesan air yang turun akupun menghampirinya. Ia tersenyum melihatku basah kuyup. Akupun ikut tersenyum. Spontan aku berdiri tepat di sebelah kanannya. Ingin menggenggam tangannya agar jangan jauh2 dariku. Haha, aku hanya bisa tertawa saat berpikir seperti itu. Akupun berjalan melewati jalan besar itu seraya ia terhindar oleh raksasa-raksasa jalan raya. Tak lupa ia berterima kasih dengan senyuman yang menawan di bibirnya. Ia pun pergi meninggalkanku dengan senyumannya yg tertinggal dalam benakku. Bibir ini tak henti-hentinya melontarkan senyuman. Ya, rinduku terobati kala sore itu.

Setiap hari aku selalu rindu dengannya. Rindu dengan senyumnya. Setiap sore juga rindu itu terobati. Sejak saat itu, aku mencintainya. Ya, aku mencintai sore. Tapi, ada saat dimana cinta ini pudar. Ya, aku menunggunya sore itu. Ia tak kunjung datang. Aku bergegas menunggunya di pinggir jalan sambil menatap jalan besar yg dilalui oleh raksasa2 jalanan. Ia akan datang, batinku.

Matahari segera mengucapkan perpisahan pada penghuni timur. Ia belum muncul juga. Ada apa? Ingin rasanya aku menghentikan matahari sejenak. Menyuruhnya menunggu sang obat rindu bersamaku. Akhirnya matahari tidak menampakkan dirinya. Sama sepertinya. Tidak menampakkan dirinya kala sore itu. Penyakit rindu semakin menguasai tubuh ini. Kemana obat rinduku, matahari? Mengapa ia menghilang?

Setiap sore rindu ini makin menggeliat, setiap sore juga rindu ini tak terobati. Mungkin hanya matahari yang mengerti perasaanku saat ini. Ingin aku mencarinya, tapi dimana? Ingin bertanya, kepada siapa? Aku semakin putus asa. Aku pun segera tidur berharap esok hari aku menemukan jawabannya.

Pagi ini sangat indah. Matahari menyambutku dengan penuh suka cita. Seraya ingin menyampaikan kabar gembira kepadaku. Lama kemudian kabar yang menghampiriku bukanlah kabar gembira, aku melihatnya diseberang jalan. Aku tersenyum sangat gembira. Aku bergegas menghampirinya. Dengan hati-hati aku melewati jalan besar, di tengah jalan aku melihatnya tertawa dengan seorang pria. Tawa mereka sangat tulus. Terpancarkan rasa kebahagiaan dari diri mereka. Mereka pun bergegas pergi. Pergi tanpa menoleh kepadaku. Saat itu juga aku terlempar, jatuh, berbaring di aspal yang panas. Aspal itu tidak cukup panas dibandingkan dengan diriku saat ini. Disaat itu, aku sangat membenci pagi. Aku juga membenci matahari dan sore. Dan aku sangat membenci diriku sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 25, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pagi, Sore, Matahari dan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang