Hening.
Malam ini yang Fauzan rasakan dalam hatinya. Merasakan embusan angin yang menusuk ke tulang belulang. Mendongak ke atas langit, terlihat ada taburan bintang, dan sebuah bulan sabit yang melengkung manis merekam ucapan yang nyaris menyerupai bisikan kepada semesta.
“Semesta, bayangan wanita senja itu masih membekas dalam benakku.”
Fauzan tidak melanjutkan, mencoba menuliskan sesuatu dalam secarik kertas yang sedikit bernoda. Mencoba menggarap seutas puisi sebagai pengganti perasaan hatinya yang sekarang. Mungkin, inilah langkah awal dan akhir yang harus dijalani. Merindu tanpa bertemu, mencintai tanpa harus dicintai.
“Kau sedang apa di sini? Angin malam sangat tidak bagus untuk kesehatan,” ucap Dion, Kakaknya.“Melihat taburan bintang dan bulan sabit. Apa kau tidak mau melihatnya juga?” tanya Fauzan, “siapa tahu, bunda juga sedang ada di sana. Melihat kita.”
Dion hanya tersenyum simpul. Mencoba melihat ke atas. Tersenyum. Merekam keindahan bintang menggunakan benaknya. “Kau... tidak ingin mencari tahu siapa wanita yang kau tuliskan dalam kertas itu, Zan?” Dion bertanya, dengan sedikit menyelidik.
Lelaki berumur 19 tahun itu segera melipat kertas itu sembarang. “Bukan urusanmu, bukan?” ketus Fauzan, “lebih baik kau masuk ke dalam, aku sedang ingin sendiri di sini.”
“Oke, oke. Sangat tidak tepat aku berbicara dengan orang yang sedang jatuh cinta sepertimu, hahaha.” Dion berlari, sengaja untuk tidak melihat mata elang Fauzan yang sangat mematikan.Tepat pukul 21.00 malam, Fauzan menyeruput kopi yang sengaja dia buat sebelum duduk di kusi kayu yang bermotif bunga mawar. Dia mencoba menggosok telapak tangannya yang dingin. Menatap lurus pandangannya ke arah meja merah yang sekarang banyak tergores sayatan pisau yang dia buat sendiri ketika merasa luka itu tumbuh lagi.
“Aku merindukanmu....” Dia memukul pohon mangga yang tepat berada di sebelahnya.****
Matahari telah menampakkan sinarnya. Suara ayam berkokok juga sudah terdengar jelas di indera pendengaran Fauzan. Dengan sigap, dia bangun dan memasuki kamar mandi untuk memulai aktifitasnya seperti biasa, yaitu kuliah.
“Sarapanmu sudah siap di meja makan. Uang semesteran juga sudah aku siapkan di sana, aku jalan terlebih dahulu.” Dion mengetuk pintu kamar Fauzan untuk meminta izin, dan langsung terdengar jawaban Fauzan yang terdengar nyaring karena sedang berada di kamar mandi.
Ritual mandi telah usai.
Lelaki tampan itu segera berjalan gontai ke meja makan. Cacing di perutnya sudah berkoar meminta jatah makan. “Masih pagi loh ini, kenapa wanita itu masih terbayang di sini, semesta?” Fauzan bertanya, sembari meletakkan tangannya tepat di kepala.Hening sejenak. Fauzan lantas melanjutkan acara makan yang sedikit tertunda.
****
Pandangan Fauzan tidak sepenuhnya pada dosen yang sedang menjelaskan teori di depan kelasnya. Tangannya bergerak-gerak memainkan pulpen yang dia beli kemarin. Pandangannya hanya tertuju pada koridor penghubung kelas, berharap seorang yang dia rindukan akan kembali terlihat, walau hanya sekilas.
Alasan Fauzan untuk terus memendam perasaan ini karena selalu teringat cinta pertamanya yang dulu pupus karena perbuatan wanita biadab. Wanita itu menyakiti bundanya sekaligus membunuhnya secara tragis. Hingga saat ini, dia masih belum percaya akan kata cinta, walau saat ini sedang dia rasakan kembali.
![](https://img.wattpad.com/cover/229003735-288-k940577.jpg)