Rasanya hari tiba-tiba saja menjadi gelap. Entah mungkin karena hujan terbentuk dari awan kelabu pekat sehingga aku tak merasakan senja yang berlalu sangat singkat. Aku berjalan sempoyongan dengan tangan merangkul perut menuju sebuah rumah makan.
"Bu, ada nasi ikan nilanya?" tanyaku.
Ia tidak merespon apapun. Hanya tatapan sinis yang aku dapatkan.
"Bu, ada?" tanyaku sekali lagi.
"Maaf ya, kami di sini usaha, kamu masih muda kok sudah malas berusaha!" sindirnya, sambil sibuk melipat bungkus nasi dan daging yang sudah disatukan.
Aku meneguk ludah. Tanpa banyak bicara, aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompetku dan meletakkannya di atas meja pemesanan. Ia menampakkan wajah kaget disertai malu. Aku sebenarnya tak masalah direndahkan, sudah sangat biasa.
***
Aku melepas sendalku, lalu membuka pintu pelan-pelan. Sial! Rencana masuk tanpa ketahuan gagal karena Aasfa tepat di hadapanku.
"Bang Aghal?" tanyanya dengan mata melotot heran melihat kondisiku yang tragis.
"Ssstt!" perintahku padanya untuk menutup mulut agar tidak memancing ibu dalam sebuah keributan.
"Bang, aku heran deh sama kamu, kenapa suka banget berantem?" tanyanya dengan suara keras, hampir menyaingi bunyi berisik ribuan hujan yang menyerbu seng rumah ini.
Aku buru-buru menyerahkan dua bungkus nasi itu ke tangan Aasfa, lalu menyingkirkan dia yang menghalangi jalanku.
"Bang!"
"BANG AGHAL! Kamu itu udah dewasa, jangan ikut-ikutan kerjaan anak yang nggak jelas itu!" nasehatnya berkali-berkali padaku.
Itulah mengapa aku bilang hanya suara ibu yang lembut tiada dua. Sebab aku tidak menyukai suara Aasfa, adikku ini terlalu berisik. Melawannya hanya akan menambah masalah, atau jika tidak ia akan menangis, dan aku tak mau itu terjadi.
Aku beringsut naik ke loteng yang kebetulan kamarku berada di sana pula. Bodo amat dengan Aasfa.
"Kenapa, dek?" tanya ibu yang terbangun dari tidurnya.
Aasfa diam hanya sesekali melirik tangga ke atas dan ibu secara bergantian.
"Abangmu kenapa?" tanya ibu sekali lagi.
"Nggak, Bu, biasa dia hujan-hujanan lagi," jawabnya.
Ibu langsung menuju ke dapur memanaskan air.
"Mau buat wedang lagi?" tanya Aasfa yang sudah paham dengan ibunya. "Buat apa, Bu, kayak dia bisa sakit aja."
"Hush! Ngomong apa kamu, dia itu manusia bukan kuda, kuda aja bisa sakit kalo kehujanan!" ujar ibu sambil memotong jahe yang baru diambilnya dari dalam kulkas.
"Iya-iya maafin Aasfa, Bu, lagian dia suka banget sama hujan, heran," celotehnya terus tiada berakhir.
"Kamu itu kalo—"
"Iya, Bu, Aasfa tau." Ia memotong pembicaraan ibunya. "Sini, biar Aasfa aja yang bikin, ibu makan aja itu nasi yang dibawa abang, aku taro di atas meja, uang dari yayasan pondok pesantren ayah juga ada di situ," imbuhnya sambil mengelus-elus pundak ibunya yang semakin hari semakin menua.
"Kenapa cuma dua?" tanya ibu.
"Mungkin punya abang dibawanya ke atas."
Aasfa naik ke loteng, begitu ibu selesai membuat wedang jahe untukku.
"Bang, ini minumannya," tutur gadis kecil itu membuat aku menoleh yang sedang duduk di pintu keluar loteng.
"Taro aja di meja kecil itu!" Aku kembali mengisap batangan rokok, lalu mengembus kepulan asap yang tertahan di mulutku itu untuk keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Orang Lain (Open PO)
RomanceOPEN PO 16 - 30 Agustus 2022 Link: https://bit.ly/POTuhanOrangLain "Ada seorang pencuri bertemu dengan gadis yang ia sukai, dia bilang 'kalau kamu juga pencuri mungkin akan lebih baik', tapi ketika ia bertemu dengan gadis yang ia cintai, 'kalau aku...