Air yang sedari sore membasahi bumi seakan masih betah menemani malam. Seorang wanita dengan cemas menunggu kepulangan suaminya. Mengapa pulang selarut ini tanpa memberi kabar.
Beberapa kali benda pipih itu ia tekan berharap nomor yang dihubungi segera menyambut panggilannya. Namun suara operator ponsel semakin menambah kekhawatiran. Pertanda ponsel tidak aktif atau sengaja tidak diangkat.
Bolak-balik mengawas keluar rumah melalui celah gorden, wanita itu mendengkus pelan.
"Ke mana?" tanyanya dalam hati.
Kembali ke dalam kamar dengan perasaan gelisah. Mengempaskan badan ke kasur dengan kasar lalu menarik selimut. Selimut tebal tidak mampu menghangatkan. Ia mencoba memejamkan mata, namun tak bisa.
Memandangi langit-langit kamar dengan frustasi. Entah kenapa segusar ini. Apa ada sesuatu yang buruk menimpa suaminya.
Wanita cantik berusia 22 tahun itu teringat kejadian siang tadi. Saat Andra—suaminya—benar-benar marah kepada sang ayah.
"Ayah, jangan sampai hilang rasa hormatku kepada Ayah." Muka Andra memerah seketika. Sedang sang ayah berdiri dengan pongahnya.
Entah apa masalahnya sehingga Andra begitu marah dan memutuskan ke luar dari rumah.
"Amira, Amira!" teriaknya memanggil sang istri. Amira tergesa menghampiri Andra. Wanita itu awalnya cemberut, lebih tepatnya memberengut walau begitu ia tetap terlihat imut dan menggemaskan. Terbiasa seperti itu semenjak tiga bulan ini, tepat setelah menyandang nama nyonya Andra.
"Cepat kemasi barangku dan barang-barangmu! Kita pindah hari ini," tegasnya dengan nada tinggi.
"Pindah lagi?" tanya Amira seraya mendelik.
"Jangan banyak bicara, mau apa tidak?" Andra berbalik badan berjalan menuju kamar.
Amira masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi ikut mengekor di belakang suaminya.
"Tapi kenapa?" Amira berusaha bertanya, walau ia tahu pria dingin itu tidak akan menjawab.
Amira sedikit mempercepat langkahnya, "oke, kita pindah ke mana?" Amira melanjutkan pertanyaannya.
Andra mengehentikan langkah mendadak dan tubuh Amira menabrak dada tegapnya. Ini membuat jarak di antara mereka terkikis. Mereka begitu dekat dan sesaat saling terdiam. Amira menikmati aroma maskulin lelakinya itu. Begitu dekat sehingga dapat mendengar degupan jantung suaminya lalu ia mendongak. Andra menutup mata Amira yang terperangah ke arah bibirnya.
Amira terpejam terbawa suasana romantis ini. Detik kemudian ia merasakan tubuh tegap itu menarik diri.
"Jangan banyak tanya," ucap Andra sinis.
Amira mencebik, ia kira Andra akan menciumnya. Ah, Amira terlalu percaya diri!
"Orang nanyanya baik-baik, kok." Suara Amira tersapu angin, namun masih terdengar oleh Andra, tipis.
Andra menoleh lagi, Amira terhenti langkahnya lalu mencebik. "Ya salam," gumam Amira lagi.
"Apa?" tanya Andra dengan tatapan sekilas.
"Ups." Amira membekap mulutnya sendiri.
Mereka berjalan menuju kamar beriringan. Sesampainya di kamar, Andra berjalan mondar-mandir. Sesekali menyisir rambut kasar dengan tangannya.
"Kita, balik ke rumah Mama lagi, ya?" Amira menawarkan seadanya.
Ia kemudian membuka lemari pakaian empat pintu yang cukup besar. Melihat dengan nanar isi yang ada di dalamnya.
Andra duduk di tepian ranjang memandangi ke arah luar jendela. Tanpa mau menjawab pertanyaan Amira, istrinya.
"Ini, harus dibawa semua?" Lagi-lagi Amira melempar tanya.
Andra menoleh dengan ekor matanya. Lalu menggeleng pelan.
"Masa itu aja nggak ngerti! Bawa seperlunya." Andra menjawab jutek.
Amira sibuk membenahi pakaian yang akan dibawa. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia tanyakan, namun sepertinya percuma. Lelaki di sampingnya itu sedang dalam masalah.
Melihat itu, Amira memutuskan untuk diam. Lalu ia beranjak menarik kursi meja rias. Membawanya ke arah sudut lemari lalu menaiki kursi tersebut. Tangannya mencoba meraih koper yang ada di atas lemari.
Beberapa kali Amira mencoba, namun gagal. Karena pucuk lemari yang tinggi. Dia meloncat yang membuat kursi bergeser dan ia terjatuh.
"Awww!" teriaknya saat sudah berada di lantai. Andra menoleh dan beranjak menolong Amira.
"Kamu ngapain, sih?" Pertanyaan klise. Masa tidak tahu kalau Amira jatuh dari kursi.
Andra membopong Amira ke atas ranjang. Direbahkannya tubuh istrinya pelan. Sedang Amira mengerang kesakitan.
"Aduhhhh," rengek Amira. Andra berusaha membantu memijit kaki Amira.
"Bukan kaki, pantat aku yang sakit!" jelas Amira seraya memegangi pantatnya. Andra melepas pijatan di kaki, namun tak berani memegang bagian yang dikatakan Amira.
"Kenapa nggak bilang kalau mau ambil sesuatu di atas sana?"
"Takut," jawab Amira enteng.
"Takut?"
"Ho-oh." Amira mengangguk dengan ekspresi dibuat semanis mungkin.
Andra membuang muka lantas melangkah dan mendekati lemari. Kemudian menurunkan koper yang diperlukan Amira. Dua buah koper ukuran sedang sudah berada di bawa sekarang.
Andra membuka koper lalu mulai memilih baju yang akan dibawa. Amira berusaha turun dari ranjang. Menyeret langkah mendekati Andra.
Meringis masih menahan sakit, Amira membantu Andra menyusun baju ke dalam koper.
"Biar aku yang susun, kamu duduk aja dulu," perintah Andra.
Amira mengerjap pelan. Lelaki dingin ini ternyata bisa perhatian juga. Amira mengulum senyum. Ia memperhatikan Andra. Ganteng tapi dingin, beku!
"Jadi kita pindah ke mana lagi?" Amira kekeh dengan pertanyaannya.
Karena Andra masih diam, Amira memberi pilihan, "balik ke rumah Mama lagi, ya?"
Andra menggeleng pelan.
"Jadi ke mana, dong?"
"Kita ngontrak!"
"Ngontrak? Yaaa, kenapa?"
Tentu saja Amira bingung, rumah Mamanya cukup besar kenapa harus ngontrak. Padahal awal menikah mereka sempat tinggal di sana. Hanya satu bulan, entah kenapa Andra mengajak pindah ke rumah orang tuanya.
"Kamu nggak mau?" tanya Andra menatap Amira sinis.
"Ehm, iya, iya, mau," jawab Amira menyerah.
"Memang seharusnya begitu, seorang istri harus nurut kata suami." Ucapan Andra membuat Amira tersedak.
Istri!
Istri yang terabaikan!
Apa kata dunia kalau tahu, setelah tiga bulan menikah, Amira masih perawan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Perawan
RomanceAndra meminta Amira menjadi istrinya. Pernikahan tanpa cinta yang mereka jalani menjadikan Amira masih perawan sampai tiga bulan pernikahannya. Pernikahan atas dasar balas budi akankah menimbulkan bulir-bulir cinta di antara keduanya?