Mundur Saja

7 1 0
                                    

Aku masih berdiri memaku disini
menatap punggungmu yang menjauh pergi
hingga akhirnya menghilang ditelan sepi
dan akupun harus kembali
menuju dunia yang telah lama aku nanti
hanya bisa mengikhlaskan hati
meninggalkan kenangan yang telah terisi
aku dan kamu kini
meraih mimpi sendiri-sendiri
semoga tuhan selalu melindungi
dan mendapatkan yang terbaik untuk dikasihi

Ketika kamu semakin terkenal diluar sana, tapi aku semakin tidak mengenalimu. Ketika kamu naik mencapai puncak, namun aku masih memandangmu sama. Ketika semua berusaha dekat denganmu, aku bahkan tidak berkutik dari tempatku. Bukan aku tidak suka, bukan aku benci melihatmu bangkit, bukan aku ingin kamu jatuh. Tapi aku hanya merasa berbeda. Bahkan menyentuhmu sekarang aku tidak bisa. Bahkan meminta waktumu sekarang sangat mustahil. Aku hanya merasa kamu telah jauh. Tanganku pun tak lagi kamu genggam. Mungkin karena aku terlalu rindu.
Sesenang itukah berada diatas ? hingga kamu lupa untuk menengokku. Atau karena kamu terlalu tinggi ? hingga aku sekarang tak terlihat. Mungkin kamu telah nyaman dengan mereka yang baru. Yang sama-sama berada diatas dan terlalu sulit untuk menunduk ke bawah.

Kampus begitu ramai hingga jalanan menjadi macet. Padahal aku sudah telat untuk mengikuti kelas hukum adat.

"Kenapa pake macet sih, sialan banget. Nggak tau apa ya banyak orang yang juga sibuk." Runtukku diatas motor.

Aku berada di depan Fakultas Ilmu Komunikasi, dan akhirnya aku memutuskan  untuk memarkir motorku disana dan berlari ke Fakultas Hukum. Cukup dekat, mungkin sekitar 1 kilo. Tapi tetap saja masih membuat diri ini lelah dan dongkol.

Benar saja, aku telah sampai di kelas dan mata kuliah sudah dimulai sejak tadi.Untung saja kali ini adalah dosen yang sangat baik, pak Bambang. Sehingga beliau masih membiarkanku masuk. Aku pun mengangguk dan mengucapkan terimakasih, lalu duduk di samping Nadia sambil masih terus mengatur nafasku yang terengah-engah.

"Kenapa lo tumben telat ?" Tanya Nadia ketika aku sudah duduk disebelahnya dan siap mengeluarkan buku.

"Macet njir dijalan. Sialan banget"

"Jadi udah ketemu Raka ?" Aku menatap Nadia bingung dan tidak mengerti dengan ucapannya.

"Hah ? Maksudnya ?

"Kan itu macet lagi ada acara arak-arakan atas kemenangan Raka di ajang kemarin. Ya pastinya karena membawa nama fakultas juga dong."

Aku terdiam mendengar ucapan Nadia. Aku baru teringat Raka lagi, padahal aku sudah sempat melupakannya. Aku tidak mempedulikan omongan Nadia dan berpura-pura untuk fokus pada pak Bambang. Sebenarnya aku sangat penasaran dan ingin tahu semuanya. Tapi aku sudah muak dengan tingkah laku Raka.

Selesai mata kuliah hari ini, aku pulang dan mengambil motorku lebih dulu di Filkom. Jalanan sudah tidak macet lagi seperti tadi. Hingga kutemukan sosok yang sangat ingin aku hindari sejak kemarin. Kulihat Raka sedang berdiri berbincang di depan Fakultasnya dengan menggunakan selempang yang membuatnya tampak sungguh berwibawa.

Aku masih terus berjalan menuju parkiran dan berpura-pura tidak melihatnya. Namun ternyata, dia melihatku. Kulihat Raka izin untuk permisi sebentar dan akhirnya berlari manghampiriku.

"Clara.. Ngapain kesini ? Nggak lihat aku tadi ?" ucapnya dengan nada santai. Padahal aku sudah berapi-api ingin meledak melihatnya.

"Ambil motor" kujawab dengan kalimat sesingkat mungkin sambil mengalihkan pandanganku.

"Lah kenapa disini ?"

"Macet"

"Oh tadi pagi ya. Iya macet banget tadi. Gara-gara aku sepertinya. Biasalah Fakultas kan suka gitu kalo ada yang berprestasi. Nggak mau ngasih selamat gitu buatku ?" Aku tertegun tidak percaya atas ucapannya dan tersenyum sinis.

Mentari Awal JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang