Dua

30 9 2
                                    

Hujan masih belum mereda, membuat udara semakin dingin dalam ruangan berdinding kaca yang menghadap jalanan itu. Atma berdiri di depan dinding kaca, memandangi satu-persatu rintik air yang jatuh dari langit, kemudian meluruh dan melebur dengan permukaan jalan, menciptakan genangan-genangan yang menyamarkan bentuk sebenarnya permukaan jalanan di bawah. Kelas baru saja selesai setengah jam yang lalu, beberapa masih ada yang bertahan untuk tinggal, salah satunya adalah Atma. Melamunkan tentang kenangan-kenangan masa putih abu-abunya dulu.

Semesta dengan segala pesonanya, selalu membuat Atma tidak berhenti mengucap syukur atas kehadirannya selama ini. Atma selalu menyukai segala yang semesta suguhkan pada penghuninya, seperti jingganya senja, indahnya fajar yang selalu datang dengan sejuta pengharapan, birunya lautan, juga hamparan langit yang tanpa ujung.

Lamunan Atma terpecah ketika ada suara seseorang yang membuka pintu kelas dengan teramat keras, sontak Atma menoleh, pun dengan beberapa orang lainnya yang tersisa di dalam kelas. Seketika hening, suasana mendadak berubah menjadi canggug. Semua pasang mata mengarah pada sosok laki-laki yang baru saja membuka pintu, napasnya terengah.  Sepertinya dia berlari untuk menuju ruang kelas, keringat mengalir deras di wajahnya.

“Hm, ke mana perginya semua orang?” Laki-laki itu bertanya kikuk. Kemudian seseorang di dalam kelas menjawab, “Kelas sudah selesai dari setengah jam yang lalu.”

“Sial!” Laki-laki itu menendang pintu dan memaki, kemudian lebih memilih masuk ke dalam ruang kelas dan duduk di salah satu bangku yang ada, bergabung dengan beberapa mahasiswa lain yang ada di dalam ruang kelas. Laki-laki itu mengelurkan sebungkus rokok dari dalam tas punggungnya, kemudian mennariknya sebatang dari beberapa batang yang tersisa dalam bungkusnya.

Atma mengamati kejadian itu dari tempatnya berdiri, diam tidak mengatakan apa-apa. Hanya saja, netranya masih mengarah pada sosok laki-laki itu. Atma jelas ingat siapa dia, laki-laki yang pada kegiatan OSPEK kemarin menyuruhnya untuk berlari keliling lapangan sebanyak 20 putaran.

Inikah sosok yang banyak dikagumi perempuan di sini? Senior laki-laki yang selalu disanjung oleh MABA semasa OSPEK kemarin? Tidak lebih dari seorang angkuh yang memanfaatkan jabatannya. Terlambat dihari pertamanya mengulang mata kuliah? Oh, jangan tanyakan mengapa Atma mengetahui itu, namanya ada pada buku daftar hadir, jelas dengan tahun angkatan dia diterima di Universitas ini.

Terlebih mata kuliah ini adalah mata kuliah untuk mahasiswa semester pertama, sedangkan laki-laki ini adalah mahasiswa semester tiga, apa lagi yang dilakukannya kalau bukan mengulang mata kuliah?

Tanpa sengaja, tatapan matanya berserobok dengan netra pekat milik laki-laki itu. Atma bersedekap, mendongakkan kepalanya angkuh dengan tatapan yang mencela. Kemudian membalikkan badan menghadap jendela, lagi. Kembali memandang rintik-rintik air yang berjatuhan dari langit.

“Jagat.” Atma terkesiap ketika tiba-tiba suara berat itu menelusup ke dalam rongga telinganya, begitu dekat. Atma mengacuhkan laki-laki itu, “Jagat Semesta.” Lagi, laki-laki itu kembali bersuara.

Kali ini Atma menoleh ke samping kanannya, tepat di mana laki-laki itu berdiri begitu dekat dengannya. Laki-laki itu sekarang berhadapan dengannya, tepat 50 cm di depannya. Atma hanya setinggi lehernya, dia cukup tinggi dan Atma tidak juga terlalu pendek.

“Jagat, Jagat Semesta, namaku.”

Atma mendongak ketika ia mendengar laki-laki itu bersuara, lagi.  Atma menatapnya angkuh. Jelas saja seperti itu, jangan lupakan bagaimana laki-laki ini memanfaatkatkan jabatannya untuk menyengsarakan Atma. Ya, ini masalah dendam pribadi Atma pada laki-laki yang beberapa detik lalu mengenalkan dirinya sebagai Jagat Semesta. Atma tidak akan melupakan tentang 20 putaran lari mengelilingi lapangan yang dititahkan Jagat padanya saat OSPEK kemarin.

|Trilogy-1| SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang