We sometimes go too far for the approval and love of someone else, when we should really just learn to love ourselves and that should be enough.
—AURORA about her song, I Went Too Far--------------------------------------
JEGREK JEGREK JEGREK!
"Tunggu!"
Teriakan gadis itu tak sedikitpun digubris. Satu-satunya kereta yang tersisa sudah pergi meninggalkan debu yang meliputi uneg-uneg sang gadis.
Jangan tanya sekarang Ia berada di mana, karena Ia sendiri pun tak tahu. Setengah jam yang lalu, alam bawah sadarnya baru saja terlelap. Semuanya tenang, sebelum desingan memenuhi inderanya dan sebuah kereta nyaris melindasnya jika Edina, sang gadis tidak menghindar.
Apa-apaan?
Belum tuntas kekagetannnya, sorotan lampu lain kembali muncul. "Berhen—," suaranya lenyap ditelan suara lain yang melengking.
"Edina Bodoh!"
Kaki Edina mendadak terjungkal. Tubuhnya terguling heboh bersama dengan rerumputan yang menumbuhi beton. Bayangan kereta pun berubah menjadi tiga remaja cungkring berwajah garang. Salah satunya mengacungkan tinju tepat di dadanya.
"Kamu jelek dan tak punya otak!"
Edina menggeram ketakutan dan kembali bangkit berlari. Memar yang bermunculan di tangannya tak Ia herankan.
Belum sepuluh langkah, rerumputan yang Ia injak meranggas. Tepat sesudahnya, mereka meletup-letup, berubah menjadi gundukan pasir yang menghambat langkahnya.
Kali ini kedua kereta itu kembali mengejarnya. Nafasnya berbalapan dengan matahari dan bulan yang entah bagaimana caranya terus terbit dan terbenam dalam hitungan detik.
"Ikuti jika tidak ingin terluka, Gendut!"
Alisnya mengerut. Kereta-kereta itu bahkan hendak merisaknya, mengapa Ia harus mengikutinya? Apakah kereta itu satu-satunya jalan keluar?
Apakah Ia harus secepat mereka jika ingin selamat?
Dengan itu, Edina kembali melompat menghindari sang kereta sebelum mengejar mereka. "Tunggu!" teriaknya sembari mencoba mengetuk dinding kereta. Yang diketuk berdesing, sekonyong-konyong berubah menjadi tiga remaja cungkring tadi.
Dirinya tersentak. Tawa licik mereka membekukan ototnya. Tepat setelah desingan kedua muncul, Edina sadar dan kembali berlari. Lagi-lagi, luka dan goresan merambahi tubuhnya, dan lagi, Ia tak mengindahkannya.
Langkahnya kembali disejajarkan dengan kereta. Jantungnya berpacu berusaha meyakinkan diri. Bersamaan dengan peluit kereta yang melengos, kakinya mengeper. Tangannya nyaris menggapai kenop pintu kereta jika ....
"Jadi kamu pikir kamu cukup pantas? Dengan keinginan Ibu yang tak pernah kamu tepati itu?"
Tubuh Edina mengejang seakan tangan sang Ibu benar-benar melemparnya kembali. Ia tergeletak ditutupi debu tanpa didengar sedikitpun. Dengan itu, usahanya untuk masuk paksa ke dalam kereta gagal total.
Luka di badannya kali ini mulai mengeluarkan darah. Edina akhirnya sadar, tetapi berusaha tak mengacuhkan mereka. Pikirannya terpecah antara mencari tahu tempat apa ini dengan kepanikan bahwa suara-suara tadi mengikutinya.
Suhu sekitar memanjat menandingi tingginya mentari. Peluh mulai memandikan tubuhnya. Matanya perih dihantam debu dan pasir.
"Kumohon—Bertahanlah!" gumam Edina kepada dirinya sendiri.
***
Edina terbangun dengan mata yang benar-benar merah.
Di tengah temaram lampu tidur bercorak bintang, tangannya menggapai-gapai mencari jam beker. "Dapat!" pekiknya sebelum jari jempolnya mengibas kesakitan tertimpa jam beker.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panorama: Forwistree Mini Games
Proză scurtăCerita ini adalah kompilasi hasil dari tugas atau mini games harian yang diadakan oleh grup kepenulisan Forwistree. Secara umum isinya berupa puisi dan cerita pendek. Semoga suka!