Prolog

51 13 22
                                    

Note: Ada beberapa kejadian berdasarkan riset dan pengalaman pribadi penulis.

***

"Mutiara yang paling indah adalah keluarga. Racun yang paling pahit (bisa jadi) juga datang dari keluarga" - Anonim.

***

"Apa penulis???"

"Mau makan apa kamu jadi penulis?"

"Ayah tidak setuju! Jadi guru saja, lebih terjamin hidupnya."

Bunyi alarm diponsel, membangunkan diriku dari kilasan peristiwa kemarin malam. Lagi dan lagi, aku bertengkar hebat dengan Ayah dan Bundaku. Mereka selalu memandang negatif keinginanku menjadi seorang penulis. Aku akan selalu merasa cemas, sedih dan marah setiap kali berinteraksi dengan anggota keluargaku sendiri, karena tidak ada hal positif yang didapat dari interaksi tersebut.

 "Astagfirullahallazim." Ucapku menenangkan diri dan pergi mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh.

Setelah selesai melaksanakan kewajiban sholat subuh, aku menyiapakan makan pagi untuk keluargaku. Hari ini aku memasak pindang ikan baung, sambal nanas dan juga lalapan sebagai pelengkap. Walaupun semalam habis bertengkar, aku tetap memasakan makanan untuk orangtuaku. Hanya untuk mengurangi keributan, karena hari ini aku ingin menghindari konflik dengan mereka.

Suasana keluarga harmonis nan suportif antar-anggotanya tidak pernah aku rasakan. Sejak masih anak-anak, beranjak dewasa, aku dihadapkan dengan anggota keluarga yang malah menghambat perkembangan diriku. Aku selalu akan merasa cemas, sedih, marah setiap kali akan berinteraksi dengan anggota keluargaku sendiri, karena tidak ada hal positif yang didapat dari interaksi tersebut.

Setelah semua hidangan tersaji di meja makan, aku pergi ke kamar untuk bersiap-siap pergi bekerja. Aku adalah seorang guru, semua itu karena keinginan orangtuaku. Walaupun ini keinginan orangtua tapi aku tetap bekerja dengan ikhlas. Selain karena dibayar, aku juga mengingat petuah orang zaman dahulu, bekerjalah dengan ikhlas dari hati nanti rezeki akan mengikuti dengan sendirinya. Kedengarannya simpel tapi kalau mau mencoba dan menjalaninya dengan sungguh-sungguh, kamu akan merasakan sendiri manfaatnya.

Ketika membuka pintu kamar, aku sudah bisa mendengar tanda-tanda kehidupan di ruang makan. Aku bisa melihat Ayah dan Abang sudah duduk di kursi makan dan Bunda sedang menuangkan air tehnya. Aku ikut bergabung duduk di kursi makan tanpa satu katapun. Selalu begini, terasa canggung. Kita makan dalam diam, hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring.

"Mey, Ayah sudah putuskan dari pada kamu menjadi penulis, lebih baik kamu masuk magister saja. Setelah lulus bisa jadi dosen." Ucap Ayah santai sambil menyesap air tehnya.

"Aku gak mau Ayah. Aku mau kerja aja." Jawabku meletakan sendok sudah kehilangan napsu makan.

Ayah selalu suka mengatur hidup anak dan istrinya, seperti Bundaku tidak diizinkan untuk beraktivitas diluar rumah dengan alasan takut selingkuh. Ayah gemar menonjolkan dan mengutamakan dirinya sendiri serta selalu merasa paling benar. Bunda adalah sosok yang sering menciptakan drama dan mencari hal-hal yang salah dalam hidupku. Abangku mudah menghakimi dan sering juga mengabaikan perasaan dan pandanganku.

"Ayah dan Abangmu saja magister Mey. Kenapa kamu enggak? Ayah gak mau tahu kamu harus ngambil magister!" Ucap Ayah tegas seperti ingin menciptakan pertengkaran kembali. Ayah dan Bundaku selalu meletakan keinginan mereka sendiri diatas kepentinganku atas nama "kebaikan untuk anak"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HAI MEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang