LAST CHAPTER 13

134 5 0
                                    

Awalnya hanya setitik merah yang menodai kemeja putihnya. Tetapi kemudian noda merah itu semakin meluas, menyebar, dan basah. Dua bola mata cokelat itu berkaca-kaca namun tak sama sekali mengedip. Seperti adegan di serial televisi Sherlock Holmes, ia menjatuhkan diri ke belakang. Mengantisipasi terjadinya pendarahan cepat dalam waktu singkat. Pikirannya terbang kepada kenangan-kenangan lama yang masih tersimpan di memori otaknya. Ia mendengar sayup-sayup suara jeritan wanita lalu tiga tembakan yang lain namun sisa-sisa kesadarannya hanya membiarkannya mendengar erangan dari pria yang baru saja menembaknya. Diam-diam, di antara kematian dan hidupnya, ia mengutuk pria itu.

            Sepanjang hidup Taylor, ia tak pernah menembak seorang pun. Ia juga tak berharap orang pertama yang ia tembak adalah sahabat—yang dulu—setianya. Ia masih terguncang akan apa yang ia baru saja lihat. Peluru pertama itu meluncur dengan indah, menjanjikan kematian yang pasti, lalu menusuk tepat di bawah dada kanan pria itu. Bukan ia yang menginginkan tembakan kedua, ketiga dan keempat terjadi, tetapi keadaan memaksanya. Ia menendang kaki Java yang sementara ia tersungkur di bawahnya, lalu pria itu ikut tersungkur di hadapannya. Hanya dalam hitungan detik, sebelum pria itu menembaknya, Taylor menembak Java di kedua kakinya dan di lengan pria itu. Tanpa ragu-ragu ia bangkit dan menendang tangan Java yang masih memegang pistol sehingga pistol itu terlempar jauh dari pria itu.

            Perhatiannya jatuh pada Justin yang sudah tersungkur lemas di bawah tempat tidur Christopher. Anak kecil itu sudah berada di samping Justin sambil memeluk lengan Ayahnya dengan kasih sayang. Bahkan anak kecil itu tiba-tiba bangkit dari duduknya dan mengambil bantal yang tadi dijadikan bantal kepala. Anak kecil itu menaruh bantal itu di punggung Justin lalu tersenyum tulus. Justin tak sanggup melakukan apa pun selain menatap Christopher dan wanita yang sekarang berjongkok di hadapannya. Semuanya tampak seperti adegan lambat di film-film. Wanita itu mengguncang-guncangkan kedua bahunya, berteriak di telinganya tetapi ia hanya mendengar dengungan seperti mendengar lebah di sekitarnya.

            “Justin! Demi Tuhan, tetap bersamaku!” Seru Taylor yang tengah menghubungi 911. Begitu teleponnya diangkat, Taylor segera memberitahu alamatnya dan meminta ambulans untuk datang secepat mungkin. Ia melempar ponsel itu kemana saja lalu membungkuk, mendekati Justin.

            “Taylor..” lirih pria itu lemah. Darahnya semakin merembes keluar, membasahi telapak tangannya yang dari tadi berada di atas luka tembaknya. Kekuatannya yang masih tersisa, ia pergunakan sebaik-baiknya. Jika ini memang kematianku.., bisik Justin dalam hati sambil tersenyum lirih pada Taylor.

            Wanita itu melembut. Ia mengelus kepala Justin dengan lembut, bahkan tersenyum. Senyuman tulus sejak perceraian mereka. Oh, ia sangat merindukan senyuman itu. Bahkan sekarang hatinya meledak-ledak bahagia sebelum kematiannya. Wanita itu banyak berbicara tetapi Justin tak sepenuhnya mendengar kata-katanya.

            “Taylor..” lirihnya lagi membuat Taylor menutup mulut. Pandangan Justin kabur sesaat. Ia dapat merasakan sentuhan kulit lembut dari telapak tangan Christopher yang menyentuh punggung tangannya. Justin menoleh pada anak tunggalnya, menatap anak itu dengan tatapan bangga. Ia tampan dan pintar sepertiku, bisik Justin sombong sebelum kematian menjemputnya.

            “Mommy, apakah paman Justin akan baik-baik saja?” Tanya Christopher begitu polos sampai Taylor tak dapat menahan tangisannya lagi. Tangisan wanita itu memecah, ia menarik tangan Justin yang tak tergeletak di lantai. Taylor tidak menjawab pertanyaan Christopher, ia mengecup-kecup punggung tangan Justin seolah-olah tangan Justin merupakan hal terbaik dalam hidupnya. Ia melipat bibir ke dalam menatap Justin yang masih dapat memberikan senyuman terbaik untuknya.

            “Justin,” bisik Taylor menaruh punggung tangan Justin di pipinya. Ia memejamkan mata. “Ingatkah kau saat kau berharap mati di bawah pangkuanku?” Tanya Taylor mengerjap-kerjapkan matanya. Ia berniat menahan air matanya agar tak mengalir, tetapi air matanya tak mematuhi apa yang otaknya perintahkan. Ia berpindah geser di belakang punggung Justin, lalu menarik pria itu agar bersandar dadanya. Pria itu memang pernah berharap ia mati di dalam pangkuan dan pelukan wanita itu. Ia ingin mati dengan damai. Dan dimana ia menemukan damai adalah bersama orang yang sangat dicintainya. Di dalam pelukan Taylor.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 25, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

doomed by herenjerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang