CHAPTER 12

80 2 0
                                    

Sebuah kertas berisi catatan. Ibu jari Taylor mengelus-elus kertas yang terapit di antara jari telunjuk dan jempolnya. Sudah berkali-kali ia membaca isi kertas itu, menduga mengapa pria yang selama ini ia percayai ternyata menjadi pengkhianat. Bukan, bukan. Java bukan pengkhianat. Pria itu sedang tidak waras semenjak kedatangan Justin. Taylor tahu betul apa yang akan terjadi jika ia bertemu dengan Java di tempat yang Java minta untuk Taylor datangi. Sedikit tangisan dan penyesalan akan mengiring mereka agar Christopher dikembalikan hidup-hidup.

            Di ruang bawah tanah Mr. Hitch. Tengah malam. Bawa si Brengsek Justin bersamamu. Jangan beritahu Rebecca dan Peter atau meminta bantuan. Jika kau melakukannya, kau tidak akan melihat Christopher lagi.

            Taylor tak perlu bertanya siapa yang memberinya pesan di atas meja ruang kerjanya setelah ia menyelesaikan kasus keluarga Featherston siang itu—dimana tentunya kedua anak itu akan dimasukan penjara, kecuali anak Featherston yang akan dibawa ke rehabilitasi. Emma tidak mungkin akan menyebut Justin ‘brengsek’ dalam sebuah catatan itu. Atau mengancamnya hingga membuat seluruh bulu roma Taylor berdiri, membuatnya panik yang dilapisi ketenangan di penampilan luarnya. Dan bukan menjadi ciri khas Taylor jika ia tidak langsung turun ke lapangan, mengecek keadaan Christopher dan meyakinkan diri bahwa anak itu baik-baik saja di sekolah. Taylor tak akan segan-segan memberi tuntutan pada sekolah itu jika Christopher benar-benar diculik—dan memang diculik.

            Sesampainya ia di sekolah, ia tidak menemukan Christopher dimana pun. Seharusnya anak itu sudah ada di taman bermain, menunggunya untuk dijemput. Ia sudah bertanya pada guru-guru di sekolah itu namun mereka bilang Christopher telah dijemput oleh seorang pria yang mengaku Ayah Christopher. Mereka tidak akan keberatan karena Christopher sendiri yang memberitahu guru-guru bahwa pria itu adalah orang yang ia kenal. Saat itu Taylor ingin sekali meninju satu per satu guru yang ada namun ia tidak memiliki waktu untuk melakukan itu.

            Sambil berjalan terburu-buru di lorong sekolah, Taylor menghubungi Java. Berharap pria itu ingin memaafkannya atas apa pun yang pernah ia lakukan pada Java hanya dengan sebuah panggilan sederhana. Tetapi nomor pria itu sudah tak aktif lagi. Ia frustrasi. Haruskah ia memanggil Justin sebagai bala bantuannya? Taylor baru saja membuang Justin dari kehidupannya—dan Taylor dapat melihat wajah Justin terkejut sekaligus kecewa selama perjalanan menuju kantornya. Dan sekarang ia meminta bantuan dari pria itu? Sungguh, jalang.

            Wanita itu pulang menggunakan taksi. Sejurus kemudian, setetes air mata mulai melewati pipi kanannya. Disusul dengan air matanya yang lain. Sopir itu bertanya apakah ia baik-baik saja, tetapi Taylor hanya menggeleng dan menatap pria itu dari kaca spion dalam dengan tatapan privasi. Taylor menarik nafas dalam-dalam lalu ia mengambil ponselnya, mencari nama Justin di kontak nomornya. Kemudian ia menghubungi Justin.

“Justin.” Suara tegas Taylor, tetapi ia mendapat balasan tawaan kecil dari seberang sana.

            “Kau merindukanku Taylor? Aku akan datang sebentar lagi, sayang. Oh, aku lupa aku tidak bisa menyetir dengan keadaan seperti ini. Sepertinya aku mabuk—“ Taylor memejamkan mata tak percaya. Di saat-saat ia membutuhkan Justin, pria itu mabuk? Sulit dipercaya. Haruskah Java mengancamnya dengan harus membawa Justin bersamanya untuk menyelamatkan Christopher? Taylor akan bersedia dengan senang hati jika permintaan Java hanyalah untuk menikahinya. Itu sebuah hal sepele. Taylor tahu Java akan terus mengaguminya sebelum atau sesudah mereka menikah. Dan dengan pikiran itu membuat Taylor merasa begitu jahat—ia terlalu percaya diri.

doomed by herenjerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang