Part 15 | Juara Kedua

983 176 87
                                    

A THING CALLED US | PART 15

"I still act like it doesn't hurt,
but it does."
─ Poem Heaven

[ KEENAN ]

Salah satu hal yang gak gue sukai mengenai kuliah adalah circle pertemanan yang terlalu luas. Nggak seperti bangku sekolah yang terjebak di kelas dan murid-murid yang sama selama satu atau dua tahun, di kuliah, gue bisa masuk ke kelas yang berbeda dengan anak-anak yang berbeda juga setiap pertemuannya. Itu membuat gue kesulitan beradaptasi, terlebih karena jadwal pengobatan gue yang kadang mengharuskan gue buat absen, gue jadi gak mengenal banyak orang di kampus.

Beruntung, meski Hana mulai disibukkan sama kegiatan bucinnya, Ardika dan Keana masih selalu ada buat gue.

"Nyong, bikinin skesta dong."

"Sketsa apaan?"

"Denah rumah."

"Kok tugas lo sama kayak tugas gue minggu lalu? Lo colong aja tuh gambar gue."

Walaupun kalau terjebak di antara mereka, gue merasa jadi manusia paling goblok karena gue gak nyambung sama obrolan keduanya. Tapi yaudah, ini lebih baik daripada gue melongo sendirian di kantin.

"Mana ada nyolong gambar? Yang ada gue digeplak sama si Bernard Hutapea." Keana mendengus, seketika itu juga gue langsung membulatkan mata.

"Bernard Hutapea?" tanya gue.

"Dosen mata kuliah menggambar."

Ardika yang lagi asik berkutat menggoreskan pensil ke kertas polos di atas meja lantas ketawa sembari menoyor kepala perempuan di sampingnya itu. "Akhlakless banget lo, Key. Itu dosen lo panggil pake nama panjangnya, kualat lo!"

"Biar akrab."

"Akrab nenek lo jogging!"

Keana mendelik. "Nenek gue udah meninggal, Dik."

"Innalillahi."

Apaan sih? Sumpah, gue sayang sama mereka tapi kadang-kadang gue cape juga jadi bagian dari pertemanan ini.

Gue menggeleng pelan, menarik gelas es jeruk yang mulai berembun di atas meja, kemudian membiarkan Ardika dan Keana kembali berdebat. Lalu, sebuah tangan melingkar begitu aja di sekitar leher gue, getar tawanya yang riang serta merta membuat gue tersenyum bahkan sebelum menoleh. Itu Hana.

"Halo teman-teman miskinku, muehehehe." Sapaannya bikin Keana buru-buru melengos.

"Lo aja kali miskin, gue mah nggak."

"Alah lo shampo abis aja masih diisi air dikocokin lagi, gue tau ya!"

Ardika langsung terbahak dengar jawaban Hana. "Udah, selama kita masih ngerasa senang ampe ke ubun-ubun tiap ditraktir Keenan, itu berarti mental kita masih miskin. Dah, bae-bae lo berdua sama Sultan."

Hana mengeratkan lagi lingkar tangannya di leher gue, nyaris bergelantung. Gue ketawa, apalagi mendapati wajahnya sedekat itu bahkan hela napasnya aja kerasa menggelitik di tengkuk, gue gak bisa nahan diri gue sendiri buat gak tersipu.

"Wuuu, kayaknya di kehidupan gue sebelumnya gue udah menyelamatkan negara, deh. Buktinya gue punya sahabat sultan kayak Keenan." Hana kelihatan bahagia, matanya berbinar lebih terang dari biasanya. Diam-diam, gue mengamati itu dan dihinggapi rasa bahagia yang sama. "Tapi harusnya gue yang sultan bukan sahabat gue kalau emang gue udah menyelamatkan negara, iya gak sih?"

Keana mendecak. "Manusia modelan lo mau menyelamatkan negara gimana ceritanya coba? Yang ada lo tuh biang kerok kekacauan negara, Na."

"Ngomong sekali aku serut congor kamu," balas Hana datar, bikin gue dan Ardika terbahak. "By the way, hari ini gue pulang bareng sama lo ya, Ken. Kak Sean ada rapat dadakan, jadi gak bisa pulang bareng gue. Padahal kita udah janjian mau ke butik. Susah juga ternyata punya gebetan anak organisasi."

A Thing Called UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang