ENAM

67.7K 5K 132
                                    

Nia makan dengan lahap dan tidak memedulikan lagi keberadaan bocah bernama Arga itu. Nia bahkan sampai melupakan keberadaan anak itu. Pikirannya hanya fokus pada makanan di hadapannya.

Rasa pedas membakar lidah membuat Nia harus menahannya dengan keringat bercucuran serta air kental yang mengalir keluar dari hidungnya.  Beruntung penjual bakso dan mie ayam menyediakan tisu sehingga membuat Nia bisa bebas melap ingusnya.

Ieuh!

Arga, pemuda 16 tahun itu sampai berjengit jijik melihat cara makan Nia yang mirip setan jahat.

"Ck, ck. Patah hati bisa buat orang stres ternyata. Heran gue. Kalau tahu sakitnya patah hati  kenapa coba-coba buat jatuh cinta," ujar Arga, sambil menatap Nia prihatin.

Sejak tadi wanita dewasa di hadapannya hanya fokus menyantap bakso saja tanpa memerhatikan sekeliling. Arga tidak mengerti dengan jalan pikiran manusia. Sudah tahu risiko jatuh cinta itu sakit kalau sedang patah hati, masih saja ada manusia yang tetap keukuh ingin tetap jatuh cinta. Katanya jatuh cinta itu indah apalagi hidup bahagia dengan kekasih kesayangan. Tapi, itu tidak menarik bagi Arga.

Sejak usia 7 tahun, Arga sudah memutuskan jika dirinya tidak akan jatuh cinta apalagi dengan perempuan yang salah. Tidak. Lebih baik ia sendiri sampai menua nanti. Apalagi jika harus membayangkan kehidupan berumah tangga. Ieuh!  Arga jijik membayangkannya.

"Anak kecil tahu apa kamu tentang masalah percintaan orang dewasa. Lebih baik kamu pikirin bagaimana caranya supaya kamu pintar dan membanggakan orangtua." Nia menatap sinis Arga. Sudah tahu Nia sedang patah hati dan makan bakso dengan sambal sepuluh sendok, otomatis emosi yang bercampur dari hati dan bibirnya makin menggelora.

"Ye, gue kasih tahu karena memang udah berpengalaman soal urusan orang dewasa."  Arga menampilkan ekspresi sombong yang membuat Nia semakin geram.

"Jangan pakai 'lo-gue' lagi atau bibir kamu saya sundul pakai sendok cabai," ancam Nia, dengan mata melotot menatap Arga sengit.

"Dih, sensian."

Nia tidak lagi menanggapi ucapan pemuda SMA itu. Fokusnya kembali pada mangkok bakso di hadapannya.

Usai menyantap habis makanannya,  Nia langsung pulang ke rumah. Sebelum itu ia sempat mengantarkan Arga lebih dulu ke sebuah jalanan yang berada tepat di depan gedung bertingkat.

Nia pulang dengan perut kenyang dan pikiran tenang. Meski bibirnya terasa lebih tebal akibat rasa pedas.

Sesampainya di rumah, Nia dikejutkan dengan kehadiran dua orang pria yang mengenakan pakaian serba hitam dan membuat Nia berjengit ngeri. Ingatan Nia jika ini belum sampai satu minggu dari batas yang diberikan para rentenir itu.

Nia mengerut keningnya. Dua orang ini berbeda dengan rentenir yang mendatanginya.

Tak mau memikirkan terlalu lama, Nia menghampiri kedua pria yang memperlihatkan ekspresi datar.

"Ada keperluan apa berdiri di depan rumah saya?"  tanya Nia.

"Saya utusan dari Pak CEO untuk segera membawa nona ikut ke kantor." Seorang pria yang memiliki tubuh lebih tinggi dari temannya mengatakan hal yang membuat Nia mengerut dahinya.

"Maksudnya apa, ya? Saya enggak melamar pekerjaan di mana pun. Anda mungkin salah orang,"  tutur Nia. 

Nia memang tidak melamar pekerjaan di perusahaan. Lagi pula mana ada perusahaan yang mau menerima dirinya yang usianya sudah melewati batas maksimal untuk calon pelamar kerja.

"Arrania Wilati. Kekasih dari Ramon Putra yang menyuap Sarah bagian kepala HRD untuk memasukkan Ramon Putra ke dalam perusahaan." Pria yang satunya lagi berujar dengan tatapan tenang miliknya. "Anda harus menghadapi Pak CEO untuk penjelasan hal ini dan menyelesaikan apa yang sudah Anda lakukan. Hal ini akan diselesaikan secara damai atau jalur hukum,"  ungkap pria itu tegas.

Nia membelalak tak percaya dengan apa yang dikatakan pria di hadapannya.

Serius? Dia bermasalah dan harus menghadap langsung pada Pak CEO?  Batin Nia terkejut.

"Ayo, silakan. Jika Anda tidak bersikap koperatif mungkin kami bisa melakukan dengan cara yang sedikit kasar."

Nia menelan ludahnya gugup saat mendengar perkataan mereka. Pasrah. Hanya itu kalimat yang berdengung di telinga Nia yang membuatnya mengikuti kedua pria itu sampai di kantor dan bertemu langsung Pak CEO.

Sesampainya di kantor, Nia dan kedua pria itu masuk melawati baseman yang langsung mengarah pada lift yang akan membawa mereka ke lantai tempat CEO itu berada.

Pintu lift terbuka menampikan pemandangan luas lantai tempat Nia dan dua pria lainnya berpijak.

Nia di bawa ke satu-satunya ruangan yang berada di lantai ini. Salah seorang pria mengetuk pintu dua kali sampai suara pria dari dalam menginterupsi agar mereka langsung masuk.

Pintu terbuat dari kayu terbaik perlahan terbuka dan menampilkan sebuah ruangan luas. Di tengah ruangan yang membelakangi kaca terdapat satu meja kerja dan kursi yang tengah di tempati oleh seorang pria.

"Pak, Nona Nia sudah berada di sini,"  ucap pria yang lebih tinggi dari temannya itu.

"Terima kasih. Kalian bisa pergi."

"Baik, Pak."

Kedua pria tadi pergi meninggalkan Nia yang terpaku di tempat dan tidak bisa berkata apa-apa. Matanya menjelajahi isi ruangan hingga tatapannya bertemu pandang dengan mata tajam dari pria setengah bule yang duduk dengan kepala bersandar di kursi kerja.

"Ada yang bisa Anda jelaskan, Nona?"

Suara berat dan dingin pemilik ruangan menyapa pendengaran Nia. Bulu kuduk wanita itu meremang saat mendengar suara tersebut.

Nia membalas tatapan tajam pria yang kini menatapnya dengan tatapan menghunus jiwa. Wanita itu menelan ludahnya gugup pasalnya ini kali pertama ia bertemu dengan CEO di perusahaan. Nia menggigit bibirnya bingung ingin menjawab apa.

"Nona Nia?"  ulang pria itu sekali lagi.

"A-apa yang mau saya jelaskan?" Nia meremas tangannya yang terasa gugup sambil menatap takut pada pria yang masih terlihat tampan itu. 

"Tentang suap yang Anda lakukan pada salah satu karyawan saya. Bagaimana Anda akan menjelaskannya?" Pria yang merupakan CEO itu kini bersedekap dan menatap tajam Nia. Tatapan pria itu seolah ingin membakar Nia.

"S-saya benar-benar minta maaf atas apa yang saya lakukan. Saya mengaku salah,"  ucap Nia dengan permohonan maafnya.

"Lalu, bagaimana cara Anda menyelesaikannya?" Pria itu tersenyum dingin menatap Nia yang tidak berkutik di tempat.

Nia terbiasa berbicara dengan orang biasa.  Jabatan orang paling tinggi yang pernah Nia hadapi hanya kepala sekolah dan RT. Lalu, ketika ia diminta untuk berhadapan langsung dengan CEO dari perusahaan besar ini, Nia rasanya ingin pipis di celana dengan jantung berdebar kencang.

Sungguh Nia jadi merasa seperti di tekan oleh raksasa. Terlebih lagi mendengar kalimat selanjutnya yang disampaikan pria itu membuat Nia rasanya ingin segera mendaftarkan diri menjadi salah satu pasien rumah sakit jiwa.

"Menikahlah dengan saya."









DILEMA ISTRI KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang