Een

296 30 5
                                    

Permisi, PseuCom ~
—————————————————————

Satu

Hari sudah gelap. Kirana berjalan lunglai menuju rumah. Tampilan Kirana saat berangkat bekerja dan pulang bekerja amatlah berbeda 180 derajat. Setelan rapihnya saat pagi, entah hilang ke mana saat ini. Kemejanya yang tadi pagi ia masukan ke dalam rok potongan span kini keluar mencuat dari tempatnya. Rambut coklat sebahunya yang saat pagi dicepol rapih, sekarang hanya kunciran biasa yang tidak terikat kencang. Jangan tanyakan riasan wajahnya! Itu sudah hilang sejak sebelum jam pulang berdentang, mengingat Kirana orang yang sangat malas untuk touch up. Untung saja Kirana memiliki wajah yang enak dipandang dan mulus glowing secara alami. Terima kasih untuk kakek yang mewarisi darah negara yang pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad pada tubuhnya.

"Mpok Kiran, kusut amat, dah," sapa Andre. Kirana tersenyum menanggapinya. Andre ini teman Akmal, adik bungsunya yang kelas 5 SD. Biasanya, di mana ada Andre di situ ada Akmal. Dan benar saja, Akmal muncul dari belakang punggung Andre dan lekas lompat dari kursi lebar yang berada di pos ronda, lalu berjalan mendekat ke arahnya dan menodongkan tangannya ke Kirana.

Kirana menghentikan langkahnya.

"Bagi duit buat beli tehjus, dong, Mpok."

"Gak ada!" sahut Kirana cetus. Dia menabok uluran tangan Akmal dengan pelan. Baru tadi pagi, sebelum berangkat kerja Kirana sudah memberikan uang dua puluh ribu pada Akmal. Masa sudah habis aja sih, ini bocah. Padahal selain uang darinya, dia juga mendapat uang saku yang tidak sedikit dari Ibunya.

Bibir Akmal menyinyir mengucapkan kata pelit untuk kakaknya itu.

"Pelit amat sih, Mpok! Akmal kismin noh, duitnya abis buat beli diamond em el," sahut Andre membela sohibnya. Akmal yang mendengarnya, bukannya berterima kasih karena sudah dibela malahan menendang kaki Andre yang terayun karena duduk di kursi pos ronda—tempat mereka nongkrong—yang sedikit tinggi.

Andre meringis kesakitan. Kirana yang mengetahui hal tersebut, langsung merasa kesal dengan adiknya ini. "Dih, bukannya buat jajan malahan buat hal yang gak berguna gitu, sih, Mal!" geram Kirana.

"Gua gak suka dibohongin gitu, ya, Mal! Lu bilang tadi pagi ada patungan di sekolah. Gak mau uang jajan lu abis, lu minta tambahan sama gua!" Akmal menunduk, pasrah karena dimarahi oleh kakaknya ini. Sebenarnya malu sama teman-temannya dimarahi begini. Tapi ... Akmal melirik sinis pada Andre. Dasar Andre lemes! Coba aja itu mulut kagak asal jeplak bilang duitnya habis buat beli diamond Mobile Legend. Gak mungkin, nih, kejadian kayak begini. Kudu disekolahin dulu itu mulut, batin Akmal kesal.

Melihat kakaknya mau ngomel lagi, Akmal buru-buru memotong, "udah, Mpok, malu gue! Kalo kaga mau kasih juga gak apa-apa sih. Gue bisa balik buat minum!"

"Bukan soal mau kasih atau enggaknya, Bhambhang! Pertama, lu udah bohongin gue! Kedua, elu udah gunain itu duit buat hal yang gak berguna."

"Berguna, lah! Itu mainan gue!" sahut Akmal tak terima.

"Gue aduin ke Ibu, lu, ya! Biar hape lu disita! Mainan itu petak umpet, kek, kelerengan, kek! Banyak! Masih kecil dah dikasih gadget, ya, gini, nih!"

"Bodo amat!" Akmal kesal. Merengut mendorong Kirana untuk cepat pergi dari pos ronda, tempat nongkrongnya ini.

Di perjalanan Kirana misuh-misuh sendiri. Badannya sangat terasa pegal karena berdesakan di busway. Bayangkan, dia berdiri dari halte Senayan sampai ke halte Kota, pemberhentian akhir bus yang ditumpanginya karena padatnya manusia hari ini yang menaiki busway.

Padatnya lalu lintas Jakarta membuat orang-orang mulai berfikir menggunakan transportasi umum lebih efisien dalam segi kantong dan waktu. Tetapi biar begitu, hari ini masih saja kacau lalu lintasnya, sampai busway yang mempunyai jalur khusus pun ikut macet! Saking padetnya Jakarta! Astaga! Padahal Kirana ingin sekali cepat-cepat sampai di rumah saat itu, kepala sudah nyut-nyutan seharian karena kerjaan. Dan sekarang ditambah puyeng karena sudah memarahi Adiknya.

Begitu sampai di depan rumah, Kirana membuka pintu gerbang lalu masuk sembari mengucapkan salam. Saat membuka pintu rumah, Kirana langsung tersenyum melihat kakek kesayangan sedang duduk di kursi rotan miliknya, seperti menunggunya pulang.

"Waalaikumsalam," ucap sang Kakek. Di matanya yang sudah rabun, kakek melihat keadaan cucunya itu sedikit berantakan. Tangan keriputnya mengelus kepala Kirana saat menerima uluran tangan Kirana untuk bersalaman.

"Kak Kiki kenapa?" tanya kakek dengan suara yang sedikit serak.

"Kek, Jakarta dulu se-crowded ini gak, sih?" keluh Kirana pada kakeknya. Sang kakek hanya tersenyum mendengarnya. Kulit keriput tidak menghilangkan paras tampan orang Belanda yang dimilikinya. Tangan keriput Kakek Will mengelus puncak kepala Kirana dengan lembut.

"Memangnya sekarang kayak apa, kak?"

"Rame banget, Kek! Cape banget Kiki di jalan. Udah di busway tadi penuh banget nget nget. Kiki gak duduk sama sekali, lho, dari Senayan!"

Kirana merebahkan kepalanya di pangkuan Kakeknya. "Kesal, kan, kek? Ditambah Kiki dibohongin sama Akmal."

"Akmal kenapa?"

"Tadi pagi dia minta uang, katanya buat jajan. Aku kasih, dong. Eh, barusan dia minta lagi, Kek. Kata temannya dia lagi gak punya uang, karena uangnya abis buat beli mainan di handphone."

Kakek hanya ketawa kecil mendengar curhatan Kirana. Di umurnya yang ke-89 ini, dia sangat bersyukur pada Tuhan, masih diberikan kesehatan dan pendengaran yang baik. Dia masih bisa berguna menjadi tempat keluh kesah cucu-cucunya. Meskipun penglihatan sudah semakin mengabur, dan terkadang lupa nama cucu sendiri. Dia hanya tidak lupa pada Kirana, karena suara Kirana satu-satunya cucu perempuan yang dimilikinya.

Kirana menatap kakeknya. Dia sangat menyayangi kakek Will. Dia juga sangat suka bercerita dan berkeluh kesah pada kakeknya. Karena setiap curhat ke kakek, entah ada magic apa, perasaan Kirana langsung plong. Mungkin karena elusan tangan kakek yang lembut tanpa henti, kali, ya? Semua rasa capek bakalan ilang begitu aja, entah, aneh banget. Dan jarang-jarang juga kursi rotan milik kakeknya diletakkan di ruang tengah. Biasanya kakek selalu di kamarnya. Mumpung di luar, Kirana pengen denger cerita masa kecil kakeknya.

Tanpa bersih-bersih badan, dan menaruh tasnya di kamar, dia langsung meminta kakeknya untuk bercerita. Kakek Will tidak pernah menolak jika cucunya meminta untuk bercerita masa lalunya. Dan kali ini topiknya masa kecil kakek. Karena, di awal Kirana mengeluhkan Akmal yang ketergantungan permainan di gadget. Tentu saja Kirana menjelaskan terlebih dahulu gadget itu apa pada kakeknya.

"Gini, Kak, dulu—-"

KindertijdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang