Vier

75 18 0
                                    

Empat

"Apakah sudah akan sampai?"

"Berapa lama lagi kita harus berjalan?"

"Kau membohongiku ya, Sapto!"

Sapto dan kawan-kawan yang mendengar keluh kesah anak kompeni yang dibawanya hanya memutar bola mata. Mereka tak memaksa Tuan Muda dan Noni ini ikut serta, justru mereka yang memaksa ikut berpetualang ke daerah Antjol untuk menikmati matahari tenggelam.

"Kenapa harus berjalan kaki! Kenapa kita tidak menaiki delman atau oplet saja! Trem juga berhenti di stasiun Antjol!" kata Annelies.

"Bodoh, mana ada trem ke Antjol! Weet alles over deze prinses," kata Willem mengejek Anna.

Anna cemberut mendengar perkataannya disanggah Willem di hadapan anak-anak pribumi. Biarpun perkataannya bercampur dengan bahasa Belanda, tetap saja dikatai bodoh itu membuatnya tidak suka.

Peluh menetes di dahinya, padahal dia sudah memakai topi lebar. Kemeja putih yang ia gunakan sudah dibasahi keringat hingga kamisol yang dipakai tembus pandang. Celana pendek selutut berpotongan lebarnya sudah kotor karena debu dan cipratan tanah becek.

"Lagian kita tidak punya uang, Noni," sahut Jali. Sebenarnya dia tidak suka perjalanan yang sudah direncanakan beberapa waktu yang lalu dengan kelima temannya itu tertambah oleh anak kaum kompeni yang sudah menyiksa kedua orangtuanya dulu. Biar tidak semua kompeni jahat, tetapi karena Jali sudah terlanjur benci dengan mereka, dia menilai semua kompeni itu sama : jahat!

"Aku punya uang!" ujar Willem dengan semangat.

"Kenapa tidak bilang dari tadi, Meneer! Kan kita tidak usah jalan sejauh ini." Satori langsung saja mencoba menghentikan delman yang melintas dengan melambaikan tangan kirinya. Namun tak ada satu pun delman-delman yang melintas itu berhenti.

Cih! Mentang-mentang mereka rakyat jelata, tidak ada satu pun yang mau berhenti. Padahal tidak semua dari mereka ini rakyat jelata. Mata kusir-kusir delman itu harusnya awas. Hmm ... tunggu dulu. Satori menengokkan kepalanya ke Willem, tampilan Willem saat ini memang tidak seperti anak kompeni, sih. Pantas saja! Willem sama kumalnya dengan mereka. Hanya rambutnya saja yang berwarna pirang terang yang mencirikan dia orang Belanda.

Tetapi, memang tidak semua anak berambut pirang anak orang Belanda, sih. Bisa saja mereka anak dari perempuan-perempuan yang dijadikan gundik pemuas hawa nafsu tentara Belanda dengan paksa dan kebetulan lahir ke dunia dengan rupa yang menyerupai orang Belanda.

Willem yang melihat upaya Satori untuk menghentikan delman tidak ada hasil, dia mencoba mengambil alih dengan melambaikan tangannya. Tetapi sama saja. Tidak ada delman yang berhenti pun.

"Percuma, Tuan. Tuan pun sama dekilnya dengan kami." Sapto berlapang dada ditendang kakinya oleh Willem yang tidak terima disamakan dengan Sapto dan teman-temannya. Padahal yang dikatakan oleh Sapto itu benar adanya. Tetapi, anak kompeni selalu benar! Ingat itu!

"Awas, minggir-minggir! Biar aku saja."

Annalies melambaikan tangannya pada delman yang dia lihat tidak jauh darinya. Dan tentu saja, kusir delman berhenti tepat di depan Annalies. Senyum puas tercetak jelas di bibir mungilnya.

"Bawa kami ke Antjol!" seru Annalies pada Pak Kusir.

"Dengan mereka, Noni?" tanya Pak Kusir dengan nada heran. Tentu saja heran, karena Noni ini akan duduk bersama anak-anak rakyat jelata. Sekedar meyakinkan Noni ini saja niat Pak Kusir.

Annalies mengangguk mantap. "Mereka jongos-jongos saya."

Dengusan tercetus dari ketujuh pemuda di sisinya. Yang terdengar paling keras oleh Willem. Willem sangat tidak terima dibilang jongos oleh Annalies. Anak kurang ajar! Padahal dia akan naik delman ini menggunakan uangnya.

KindertijdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang